Pendidikan Multibudaya Anak Usia Dini


A.    Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini
1.      Pengertian
Anak usia dini menurut Berk adalah anak yang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam berbagai aspek pada rentang perkembangan hidup manusia.[1] Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakuan yang diberikan kepada anak harus memperhatikan karakteristik pada setiap tahapan yang dimiliki anak.
Pendidikan Anak Usia Dini dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, dimana anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta menjalani kehidupan di masa dewasanya.
Program pendidikan untuk anak usia dini harus direncanakan untuk membantu anak mengembangkan potensinya secara utuh. Di sisi lain, Eliyawati menyatakan bahwa program pendidikan harus dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan perkembangan anak, memberikan kesempatan untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan intelektual atau kognitif, emosi dan fisik anak, memberikan dorongan serta mengembangkan hubungan sosial yang sehat.[2] Dalam hal ini pendidikan anak usia dini memiliki fungsi melejitkan seluruh potensi kecerdasan anak, pengembangan kemampuan dasar dan penanaman nilai-nilai dasar kehidupan.
Sujiono berpendapat pendidikan anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh daya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan pada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan dimana anak dapat mengeksplorasi pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mengetahui dan memahami pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan kecerdasan anak.[3]

Oleh karena itu anak merupakan pribadi yang unik dan melewati berbagai tahap perkembangan kepribadian. Lingkungan yang diupayakan oleh pendidik dan orang tua yang dapat memberikan kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman dengan berbagai suasana, hendaklah memperhatikan keunikan anak-anak dan disesuaikan dengan tahap perkembangan kepribadian anak.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu kegiatan yang diberikan kepada anak untuk mengasah kecerdasan dan berbagai aspek perkembangan sesuai dengan tingkat perkembangannya.

2.      Karakteristik Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan Anak Usia Dini dalam hal ini adalah Taman Kanak-kanak dianggap sebagai dasar pertama anak untuk mengembangkan semua kemampuannya yaitu meliputi kemampuan fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, nilai agama dan moral. Oleh karena itu menurut Yulianti dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.[4]
Upaya pengembangannya dilakukan dengan belajar melalui bermain. Dengan bermain anak mempunyai kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan. Taman Kanak-kanak merupakan awal pendidikan di sekolah, oleh karena itu Taman Kanak-kanak perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.
Pada Taman Kanak-kanak dibagi menjadi dua kelompok yaitu Kelompok A dan Kelompok B. Kelompok A berada pada rentang usia 4-5 tahun, sedangkan Kelompok B berada pada rentang usia 5-6 tahun. Anak kelompok B dengan usia 5-6 tahun ini memiliki perkembangan yang lebih matang dalam berbagai hal dibandingkan dengan anak usia 4-5 tahun. Menurut Hurlock anak usia 5-6 tahun lebih mempunyai sifat pemberani dan senang mencoba hal yang baru.[5]
Sujiono menyebutkan bahwa anak pada usia ini memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa. Beberapa karakteristik anak usia dini adalah:
a.       Anak selalu aktif, dinamis, antusias dan selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan.
b.      Anak seolah-olah tak pernah berhenti untuk bereksplorasi dan belajar.
c.       Anak memiliki rasa ingin tahu secara alamiah, merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan fantasi, memiliki daya perhatian yang pendek, dan merupakan masa yang paling potensial untuk belajar.[6]
Sejalan dengan pendapat di atas, Eliyawati juga menyebutkan karakteristik anak usia dini antara lain :
a.       Anak bersifat unik, bersifat aktif dan energik.
b.      Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.
c.       Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang.
d.      Anak mengekspresikan perilakunya secara relatif spontan, senang dan kaya dengan fantasi/daya khayal.
e.       Anak masih mudah frustasi.
f.       Anak masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu.
g.      Anak nmemiliki daya perhatian yang pendek.
h.      Anak bergairah untuk belajar dan banyak belajar dari pengalaman.
i.        Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman.[7]
Dengan memahami karakteristik anak usia dini, pendidik akan lebih mampu memberikan stimulasi yang tepat pada anak sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan karakteristik pendidikan anak usia dini adalah unik, egosentris, eksploratif, imajinatif, suka berfantasi, dan mempunyai rasa ingin tahu tinggi.

B.     Konsep Studi Sosial
1.      Pengertian Studi Sosial
Studi sosial adalah proses mempelajari, menelaah dan memahami manusia dalam konteks hubungan timbal balik (interaksi) antara satu dengan lainnya. Studi sosial bagi anak usia dini adalah kegiatan anak usia dini yang dilakukan dengan cara mempelajari berbagai kehidupan sosial manusia pada berbagai situasi atau konteks. (Hapidin)
Studi sosial memberi suatu studi yang teratur, sistematis dari sejumlah pelajaran seperti ekonomi, geografi, sejarah, ilmu politik, sosial, dan lain-lain, maksudnya adalah membantu anak-anak belajar membuat keputusan cerdas dan beralasan untuk kepentingan umum sebagai warga masyarakat yang berdemokrasi, beragam kebudayaan, dan kepentingan dunia yang saling bergantungan (NCSS,2004).[8]
Disisi lain, DoDEA yang merupakan Departemen Pertahanan Kegiatan Pendidikan di Amerika menyatakan bahwa
Social Study is a vital part of the Department of Defense Education Activity (DoDEA) curriculum which emphasizes the growth and preservation of a democratic society and the interdependency of the world. The program is designed to provide students with learning experiences which will aid in the development of knowledge, skills, values, and attitudes necessary for participation as citizens in a culturally diverse, democratic society.

Dari penjelasan di atas bisa dijelaskan bahwa studi sosial merupakan bagian penting dari DoDEA. Dalam hal ini, kurikulum DoDEA yang di dalamnya termasuk studi sosial menekankan pada pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat yang demokratis dan saling membutuhkan. Selain itu, program ini disusun untuk memberikan siswa pengalaman belajar yang akan membantu mereka dalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, nilai serta sikap dan perilaku untuk berpartisipasi sebagai warga negara yang demokrasi dengan budaya yang beragam.

2.      Tujuan Studi Sosial
Studi sosial mempunya berbagai tujuan, adapaun tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Membantu anak dalam mengembangkan kemampuannya untuk mendapatkan informasi, dan dapat membuat keputusan baik untuk dirinya sendiri dan orang lain
b.      Berpikir kritis, rasional, dan kreatif, dalam menanggapi isu kewarganegaraan
c.       Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
d.      Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah dan ketrampilan dalam kehidupan sosial
e.       Memiliki kesadaran terhadap nilai sosial dan kemanusiaan.
f.       Memiliki kemampuan komunikasi bekerja sama dalam masyarakat.
3.      Kurikulum
Pendidikan terikat dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Pendidikan diarahkan pada perkembangan dan pertumbuhan manusia agar dapat menjadi manusia yang memiliki identitas yang berbeda dengan makhluk lainnya. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran yang sangat sentral sehingga dalam prosesnya diperlukan adanya perancangan suatu program pendidikan. “Curriculum dalam bahasa Yunani berasal dari kata curir yang artinya pelari, dan curere yang artinya tempat berpacu” (Nugraha, et al. 2005:1.2). Kurikulum sebagai bagian dari program pendidikan merupakan suatu pedoman umum dalam penyelenggaraan sistem pendidikan.
Menurut Jackman (2012: 35) mengungkapkan bahwa “ curriculum is a multilevel process that encompasses what happens in an early education clasroom each day, reflecting the philosophy, goals, and objectives in early childhood program”. Dengan mengambil makna dari batasan kurikulum tersebut, secara sederhana kurikulum diartikan sebagai suatu proses pembelajaran yang harus diselesaikan oleh siswa untuk memperoleh kelulusan dari suatu jenjang pendidikan.
Penekanan selanjutnya kurikulum memiliki batasan yang lebih luas yaitu pada pengalaman belajar yang diterima oleh siswa yang dapat mempengaruhi perkembangan pribadinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Gestwicky (2007: 67) bahwa:
experienced preschool teachers recognize that they are in fact teaching important content from the various academic disciplines and have always done so, but that this content is integrated in curriculum activities. ... The concept of integrating curriculum comes in part from considering the integrated nature of development.

Batasan kurikulum yang memfokuskan pada seluruh pengalaman belajar yang diperoleh anak dikemukakan pula oleh Bennet, et al. (Nurani. 2009: 199) “pengembangan kurikulum adalah pengembangan sejumlah pengalaman belajar melalui kegiatan bermain yang dapat memperkaya pengalaman anak tentang berbagai hal, seperti cara berfikir tentang diri sendiri, tanggap pada pertanyaan, dan dapat memberikan argumentasi dari berbagai alternatif”. Sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa secara umum kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini dapat dimaknai sebagai seperangkat kegiatan belajar sambil bermain yang sengaja direncanakan untuk dapat dilaksanakan dalam rangka menyiapkan dan meletakan dasar-dasar bagi pengembangan diri anak usia dini secara kontinu dalam rangka persiapan bagi anak untuk melakukan pendidikan pada jenjang selanjutnya.
Menurut NAEYC Early Childhood Program Standar (Nurani. 2009: 199) terdapat 2 (dua) hal penting tentang kurikulum bagi anak usia dini, yaitu:
a.    Program kegiatan bermain pada anak usia dini diterapkan berdasarkan kurikulum yang berpusat pada anak serta dapat mendukung kegiatan pembelajaran dan perkembangan pada setiap aspek baik estetika, kognitif, emosional, bahasa, fisik dan sosial;
b.    Kurikulum berorientasi pada hasil dan mengaitkan berbagai konsep dan perkembangan. Pada saat disampaikan oleh guru pada setiap individu anak, maka kurikum yang telah dirancang diharapkan dapat membantu guru, sehingga dapat menyediakan pengalaman yang dapat mengembangkan perkembangan pada jenjang yang lebih tinggi pada wilayah perkembangannya. Hal ini juga mengarah pada intensionalitas dan ungkapan kreatif, dan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar secara individu dan berkelompok berdasarkan kebutuhan dan minat mereka.

Terkait dengan kurikulum sebagai suatu program, menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (2010: 2) dijelaskan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Nugraha, et al. (2005: 1.5) menjelaskan beberapa fungsi kurikulum, diantaranya:
a.       Fungsi kurikulum sebagai proses kognitif, dimana kurikulum dipandang sebagai alat pengembangan kemampuan berfikir untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan yang akan dihadapi.
b.      Fungsi kurikulum sebagai proses aktualisasi diri, dimana kurikulum merupakan alat untuk memfasilitasi anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakat yang dimilikinya sehingga setiap anak bisa mengenal proses perubahan tumbuh kembang dirinya sendiri.
c.       Fungsi kurukulum sebagai proses rekonstruksi sosial, dimana kurikulum dipandang sebagai alat untuk membekali anak agar dapat menjadi anggota masyarakat yang tidak saja menerima atau menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sudah ada tetapi juga secara inovatif dan kreatif mampu mengembangkan kehidupan kearah yang lebih produktif dan berkualitas.
d.      Fungsi kurikulum sebagai program akademik, dimana kurikulum dipandang sebagai alat dan tempat belajar sehingga anak dapat memperoleh pengetahuan yang diharapkan dapat membekali kemampuan untuk bisa hidup dalam zaman yang dilaluinya.
Subandiyah (Nurani. 2009: 214) mengemukakan tentang prinsip-prinsip pengembagan kurikulum, diantaranya yaitu:
a.       Relevansi, kurikulum anak usia dini harus relevan dengan kebutuhan dan perkembangan anak secara individu.
b.      Adaptasi, kurikulum anak usia dini harus memperhatikan dan mengadaptasi perubahan psikologis, IPTEK dan seni.
c.       Kontinuitas, kurikulum anak usia dini harus disusun secara berkelanjutan antara satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya dalam rangka mempersiapkan anak memasuki pendidikan selanjutnya.
d.      Fleksibilitas, kurikulum anak usia dini harus dipahami, dipergunakan dan dikembangkan secara fleksibel sesuai dengan keunikan dan kebutuhan anak serta kondisi lembaga penyelenggara.
e.       Kepraktisan dan akseptabilitas, kurikulum anak usia dini harus memberikan kemudahan bagi praktisi dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pendidikan pada anak usia dini.
f.       Kelayakan, kurikulum anak usia dini harus menunjukan kelayakan dan keberpikiran pada anak usia dini.
g.      Akuntabilitas, kurikulum anak usia dini harus dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan anak usia dini.

Menyimak beberapa batasan kurikulum tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum sebagai program pendidikan yang disusun secara logis dan sistematis sebagai pedoman umum untuk penyelenggaraan sistem pendidikan yang dapat memfasilitasi pengoptimalan pencapaian hasil, sehingga dapat melahirkan siswa yang memiliki kompetensi akademik, personal, sosial, maupun vokasional secara terintegrasi.

C.    Hakikat Pendidikan Multibudaya
1.      Pengertian Pendidikan Multibudaya
Istilah “multibudaya” (multiculture) jika ditelaah asal-usulnya mulai dikenal sejak tahun 1960-an, setelah adanya gerakan hak-hak sipil sebagai koreksi terhadap kebijakan asimilasi kelompok minoritas  terhadap melting pot  yang sudah berjalan lama  tentang kultur dominan Amerika khususnya di New York dan California (Banks, 1984: 3, 164; Sobol, 1990: 18).[9] Istilah multibudaya tersebut selalu melekat dengan pendidikan, yang mempunyai arti secara luas meliputi any set of processes by which schools work with rather than against oppressed groups (Sleeter, 1992: 141).[10]
Pendapat tersebut  sejalan dengan pernyataan Will Kymlicka, profesor filsafat pada Queen University Canada dalam bukunya Multicultural Citizenship, bahwa multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya (Kymlicka, 2002: 8, 24).[11] Sedikit berbeda dengan Stavenhagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep “multibudaya” mengandung dua pengertian. 
Pendidikan multibudaya merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, maupun negara (Banks, 2001).[12]
Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process whose major goal is to change the structure of educational institutions so that male and female students, exceptional students, and students who are members of diverse racial, ethnic, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school (Banks, 1993:1) 

Pendidikan multibudaya adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa, baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.[13] 

2.      Pentingnya Pendidikan Multibudaya
Berry, Poortinga, dan  Segall (1998: 577-580) dalam karyanya Cross-cultural psychology: Research and applications, menyebutnya multibudaya pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan suatu konteks sosiopolitik yang memungkinkan individu dapat mengembangkan  identitas yang sehat dan secara timbal-balik mengembangkan sikap-sikap positip antar kelompok.[14]
Pendidikan multibudaya bertujuan untuk mengenalkan bahwa manusia berada dalam suatu lingkungan budaya yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan lain lain.
Dalam pendidikan anak usia dini pendidikan multibudaya diajarkan karena anak-anak terdiri dari latar belakang yang berbeda (agama, bahasa, ras, aturan, dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari) dan mereka berkumpul dalam suatu sekolah pendidikan anak usia dini.
Pendidik  harus membantu anak bahwa mereka berada dalam budaya yang berbeda-beda. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Davidman & Davidman, 1997 yang menyatakan “Early childhood teachers must help children be aware of diversity and cultural differences so that children can appreciate being in a multicultural environment.[15]
Guru anak usia dini harus membantu anak-anak menyadari keragaman dan perbedaan budaya sehingga anak-anak dapat menghargai berada di lingkungan yang multibudaya.
Berdasarkan studi Tarman & Tarman dalam The Journal of International Social Research menyatakan:
Early childhood educators have also responded this social change and have a commitment to fostering respect for diversity and to providing equal educational opportunities to all children. Since children begin to notice differences and construct classificatory and evaluative categories very early, early childhood educators need to affirm and foster children’s knowledge and pride in their cultural identities.”[16]

Pendidik anak usia dini juga telah merespon perubahan sosial ini dan memiliki komitmen untuk mendorong penghormatan terhadap keragaman dan untuk menyediakan  kesempatan pendidikan yang sama untuk semua anak. Karena anak-anak mulai melihat perbedaan dan membangun kategori klasifikasi dan evaluatif sangat awal, pendidik anak usia dini perlu untuk menegaskan pengetahuan dan kebanggaan anak pada identitas budaya mereka.
Hal tersebut diperkuat dengan studi Husband dalam Social Studies Research and Practice “Recent statistics from the U.S. Census (2000) report that student demographics in early childhood classrooms are becoming increasingly racially, culturally, and ethnically diverse”.[17]  Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa Statistik terbaru dari Sensus AS (2000) melaporkan bahwa demografi anak pada kelas anak usia dini menjadi semakin rasial, kultural, dan beragam etnis. Oleh karena itu penting bagi pendidik untuk mengenalkan anak tentang pendidikan multibudaya untuk kehidupan bersosialisasi.

D.    Implementasi Pendidikan Multibudaya Anak Usia Dini
Melihat beraneka ragamnya budaya di dalam lingkungan ini maka penting bagi guru untuk mengajarkan pendidikan multibudaya kepada anak didik untuk memudahkan mereka bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Para guru harus mencoba dan mengerti perbedaan budaya anak didik untuk menolong mereka beradaptasi dengan budaya sekolah. Mempunyai anak didik dengan ragam bahasa, kebiasaan, aturan, agama, dan ras yang berbeda, merupakan suatu tantangan tersendiri bagi guru dan anak didik. Para guru harus peka terhadap berbagai kebudayaan yang ada.
Sebagai contoh adalah anak dikenalkan berbagai macam agama yang ada dan harus menghargai agama teman yang lain. Pengenalan berbagai agama tentunya dengan bermain sehingga anak merasa senang dengan kegiatan yang dilakukannya. Kemudian anak juga diajak untuk berinteraksi dengan teman dari berbagai ras disini tidak ada perbedaan ras semua anak menjadi satu kesatuan. Dari segi bahasa terutama bahasa ibu setiap anak berbeda-beda maka dari itu pendidik pintar-pintar mencari metode untuk mengenalkan konsep bahasa pada anak kenapa bahasa yang digunakan berbeda.
Dalam pembelajaran pendidikan multibudaya tentunya harus memperhatikan karakter masing-masing anak. Anak  mempunyai karakter yang berbeda-beda ada yang terisolasi dan juga ada yang popular di kelasnya. Vasquez dan Wainstein (1990: 608) menyatakan hanya ada sedikit literatur yang memberi "strategi praktis untuk pembelajaran anak minoritas. Banyak anak minoritas gagal di sekolah bukan karena berbeda secara budaya namun karena anggota pengajar tidak disiapkan untuk mengenal perbedaan budaya sebagai kekuatan". Pada ahli teori kritis seperti Giroux, Freire, and Anyon yang menekankan kebutuhan akan pedagogi humanisasi dengan "menciptakan lingkungan yang memungkinkan adanya tindakan dan refleksi " (Bartolome,1994: 177). Bartolome (1994: 177) mengusulkan dua model pembelajaran yang memungkinkan “anak yang tersubordinasi berubah dari posisi obyek menjadi subyek”: Pembelajaran responsif secara kultural. "kesulitan akademis anak kelompok subordinasi disebabkan tidak adanya pertalian budaya atau diskontinuitas antara belajar, pemakaian bahasa, dan praktek perilaku yang ditemukan di rumah dan sekolah" (h. 183). Hal ini berarti budaya yang ada di sekolah merupakan kepanjangan tangan dari budaya yang ada di rumah. Untuk itu pengajar harus "belajar mendengar, belajar dari, dan menjadi mentor anak didiknya" (h. 189). 
Strategic Teaching yang menunjuk pada model pembelajaran yang secara eksplisit mengajari siswa suatu strategi yang memungkinkan mereka secara sadar memonitor belajarnya sendiri melalui pengembangan monitoring kognitif reflektif dan ketrampilan metakognitif" (h. 186). 
1) Cooperative Learning Cooperative Learning adalah metode esensial untuk mendesain pendidikan multikultural. Ini bukan kerja kelompok dimana pengajar hanya menyusun siswa dalam suatu kelompok, memberi suatu topik yang diarahkan untuk "diskusi." Johnson dan Johnson (1994: 61) mendefinisikan cooperative learning sebagai "penggunaan pembelajaran dari kelompok kecil sehingga anak bekerja bersama untuk memaksimalkan belajarnya sendiri maupun masing-masing yang lain". Mereka menunjukkan bahwa cooperative learning lebih sekedar diskusi, membantu, dan berbagi. Lima elemen esensial cooperative learning (Johnson dan Johnson, 1994: 64-71 adalah: 
1.  Kemandirian positif (Positive interdependence), anggota kelompok memenuhi peranan (pembaca, mengecek, pendorong) dan harus mencapai konsensus. 
2. Interaksi tatap muka yang promotif (Face-to-face promotive interaction) Anak berinteraksi dengan temannya dengan berkomunikasi, bermain bersama, dan kegiatan di sekolah. 
3.  Tanggung jawab individu (Individual accountability). Anak dinilai secara individu. Ini menjamin bahwa masing-masing orang melakukan "berbagi kerja secara adil”. 
4.  Ketrampilan sosial (Social skills). Anak harus juga mempelajari ketrampilan sosial yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang lain: "ketrampilan kepemimpinan, pembuatan keputusan, pembangunan kepercayaan, komunikasi dan penyelesaian masalah. 
5.  Keefektifan proses kelompok (Groups process their effectiveness). Kelompok mendiskusikan kemajuannya dan memberikan umpan balik seperti terhadap kontribusi masing-masing orang dan di mana masing-masing orang dapat memperbaiki.



BAB III
IMPLIKASI PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

A.    LESSON PLAN
1.   Studi Sosial
PENDIDIKAN MULTIBUDAYA
Jaringan aktivitas bermain pada studi sosial

 





















2.      Analisis Konsep Pada Studi Sosial Pendidikan Multibudaya
Kegiatan Bermain
Aspek/ Indikator
Bahan/ Alat
Opening
1.      Berdo’a sebelum melakukan kegiatan

2.      Menyanyikan lagu anak


NAM (Berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan)
BAHASA (Bernyanyi lagu anak sederhana)

Inti
1.      Bermain Peran “Kampung Nusantara”
2.      Guru menyiapkan alat dan bahan (pakaian dari berbagai budaya dari latar belakang anak)
3.      Guru membagi anak dalam suatu kelompok dimana setiap kelompok disesuaian dengan situasi dan kondisi (fleksibel)

4.      Guru mengajak anak untuk bermain peran dengan budaya masing masing dan bahasa anak masing-masing

5.      Guru menjelaskan kepada anak bahwa anak berada dalam suatu lingkungan budaya yang beraneka ragam
6.      Guru memberikan pengertian kepada anak meskipun berbeda-beda anak harus saling berteman dan tidak boleh membeda-bedakan teman
7.      Berdo’a setelah melakukan kegiatan







- (Sosem) Anak berinteraksi dengan teman dengan latar belakang yang berbeda-beda
-(Bahasa dan kognitif) Anak mampu memerankan dan berkomunikasi sesuai karakter
-(Bahasa) Anak menerima pesan yang disampaikan guru







NAM (Berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan)



1.   Macam-macam pakaian budaya daerah
2.      Speaker
3.      Tape recorder
4.      Lagu daerah

B.     ASSESMEN KONTEN KURIKULUM
No
Kegiatan Bermain
Aspek/ Indikator
Asesmen Perkembangan
1.
Bermain peran “Kampung Nusantara”
Nilai Agama dan Moral
Anak mampu berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan
Sosial Emosional
-Anak dapat menjalankan tugas sesuai perintah
-Anak mampu bersosialisasi dengan kelompok
-Anak dapat berinteraksi dengan latar belakang yang berbeda
Kognitif
-Anak mampu mengenal berbagai budaya yang ada
-Anak dapat emainkan peran sesuai dengan karakternya
Bahasa
Bernyanyi lagu anak sederhana
Fisik Motorik
Anak mampu bergerak sesuai dengan peran yang dimainkan
Seni
Kreativitas anak dalam memainkan peran





[1] Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Indeks, 2009), h. 6
[2] Cucu Eliyawati, Pemilihan dan Pengembangan Sumber Belajar Untuk Anak Usia Dini, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005), h. 12
[3] Ibid., h. 7
[4]Dwi Yulianti,. Bermain Sambil Belajar Sains di Taman Kanak-kanak. (Jakarta: Indeks, 2010),  h. 3

[5] Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan ( Jakarta : Erlangga, 2003), h. 140.
[6] Yuliani Nurani Sujiono, op.cit., h. 6.
[7] Cucu Eliyawati, op. cit., h. 2
[8] Carol Seefeldt & Barbara A. Wasik, Pendidikan Anak Usia Dini Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat, Lima Tahun Masuk Sekolah Edisi Kedua (Jakarta: PT Indeks, 2008)., h. 448
[9] James, Banks, Teaching Strategies for Ethnic Studies (Newton: Allyn and Bacon, 1984).
[10] Sleeter, C.E. (1992) “Restructuring Schools for Multicultural  Education”, Journal of Teacher Education Spring 1992 Vol 43, hh. 141-148.
[11]Will, Kymlicka, “Misunderstanding Nationalism” dalam Theorizing Nationalism, diedit oleh R. Beiner (State University of New York: Albany, 1999).
[12] Banks, J.A. Multicultural Education: Issues and Perspectives (Needham Height, Massachusetts: Allyn and Bacon, 1993), h. 34.
[13] Ibid., h. 1.
[14] Kamanto, Sunarto, dkk, Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia Stepping into the Unfamiliar ( Jakarta: UI, 2004), h. 54   
[15] Ilknur Tarman & Bulent Tarman, ”Developing Effective Multicultural Practices: A Case Study Of Exploring A Teacher’s Understanding And Practices”,  The Journal Of International Social Research, Vol 4 (17), Spring 2011, hh. 579-598
[16]  Ibid
[17] Terry Husband, Jr.  “He’s Too Young to Learn About That Stuff: Anti-Racist Pedagogy and Early Childhood Social Studies”,  Social Studies Research and Practice, Vol 5 (2), Spring 2010, hh. 61-75.

DAFTAR PUSTAKA

Banks, James. (1984). Teaching Strategies for Ethnic Studies. Newton: Allyn and Bacon.
 (1993). Multicultural Education: Issues and Perspectives Needham Height, Massachusetts: Allyn and Bacon.

DODEA SOCIAL STUDI STANDARDS PK-GRADE 12. 2009. Essensial Academic Content Knowledge Accros the Social Studies Continuum. www. dodea. edu/. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 pukul 09.45 WIB.

Eliyawati, Cucu. 2005 Pemilihan dan Pengembangan Sumber Belajar Untuk Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
http://www.naeyc.org. Diakses pada 16 November 2014 jam 13.25 WIB.
Hurlock, Elizabeth B. (2003). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.

Jr. Terry Husband. (2010). “He’s Too Young to Learn About That Stuff: Anti-Racist Pedagogy and Early Childhood Social Studies”. Social Studies Research and Practice. 5 (2), 61-75. Diperoleh dari http://www.e-resourches.pnri.go.id pada 16 November 2014 jam 13.40 WIB.
Kymlicka, Will. (1999) “Misunderstanding Nationalism” dalam Theorizing Nationalism, diedit oleh R. Beiner. State University of New York: Albany.
Seefeldt, Carol & Wasik, Barbara A. (2008). Pendidikan Anak Usia Dini Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat, Lima Tahun Masuk Sekolah Edisi Kedua. Jakarta: PT Indeks.
Sleeter, C.E. (1992). “Restructuring Schools for Multicultural  Education”, Journal of Teacher Education 43, 141-148. Diperoleh dari http://www.e-resourches.pnri.go.id pada 16 November 2014 jam 13.35 WIB.
Sujiono, Yuliani Nurani. (2009).  Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.
Sunarto, Kamanto, dkk. 2004. Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia Stepping into the Unfamiliar. Jakarta: UI

Tarman, Ilknur & Tarman, Bulent. (2011). ”Developing Effective Multicultural Practices: A Case Study Of Exploring A Teacher’s Understanding And Practices”,  The Journal Of International Social Research, 4 (17), 579-598. Diperoleh dari http://www.e-resourches.pnri.go.id pada 16 November 2014 jam 13.40 WIB.
Yulianti, Dwi. (2010). Bermain Sambil Belajar Sains di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Indeks.

Komentar