Pendidikan dan Penanganan Autis

A.    Pengertian Autis
Kata autis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang  secara tidak langsung menyatakan  ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autis dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).[1] Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.
Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama  Leo Kanner. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun. Bahkan apabila autis infantil gejalanya sudah ada sejak bayi.
Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi- fungsi: persepsi (perceiving), intending , imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling). Autis juga dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis (systematic reasoning).
Dalam suatu analisis ‘microsociological’ tentang logika pemikiran mereka dan interaksi dengan yang lain (Durig, 1996; dalam Trevarthen, 1998), orang autis memiliki kekurangan pada ‘cretive induction’ atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus (minor) menuju kesimpulan umum, sementara deduksi, yaitu bergerak pada kesimpulan khusus dari premis-premis (khusus) dan abduksi yaitu peletakan premis-premis umum pada kesimpulan khusus, kuat. (Trevarthen, 1998).[2]
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa autis adalah gangguan perkembangan di otak yang mengakibatkan gangguan kognitif, interaksi sosial, dan kemampuan bicara.

B.     Karakteristik Autis
DSM IV (Diagnostic Statistical Manual) yang dikembangkan oleh para psikiater dari Amerika mendefinisikan anak autis sebagai berikut:
1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi sekurang-kurangnya: satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok 
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara berikut:
1) Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku non verbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi social.
2) Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya.
3) Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan secara spontan  dengan orang lain (seperti; kurang tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya).
4) Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang berikut:
1) Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak (bukan disertai dengan mencoba untuk mengkompensasikannya melalui cara-cara komunikasi alternatif seperti gerakan tubuh atau lainnya)
2) Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk memulai pembicaraan atau memelihara suatu percakapan dengan  yang lain
3) Pemakaian bahasa yang stereotipe atau berulang-ulang atau bahasa yang aneh (idiosyncantric)
4) Cara bermain  kurang bervariatif, kurang mampu bermain pura-pura secara spontan, kurang mampu meniru secara sosial sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya
c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan stereotype seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut:
1) Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan stereotipe baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya.
2) Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual yang khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.
3) Perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti: memukul-mukulkan atau menggerakgerakkan  tangannya atau mengetuk-ngetukan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya).
4) Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (object).
Selain itu, Webster berpendapat bahwa:
“The characteristic of autism is affect isolation, unreletedness to others, twiddling behavior, inconsistent developmental continuity, self-destruktive behavior, tempertantrum-anxiety, I/you apparent confusion, concrete thinking, perceptual, inconsistencies, echolalia-immediate and delayed, orderliness (psychological rigidity), physical incoordination, language lacks, and excessive activity”.[3]
 
Berdasarkan pendapat di atas diketahui bahwa karakteristik autis adalah menutup diri, tidak bisa berhubungan dengan orang lain, perilaku yang tidak menentu, kontinuitas perkembangan konsisten, perilaku diri destruktif, tempertantrum-kecemasan, saya/anda jelas kebingungan, pemikiran yang konkret, persepsi, tidak konsisten, echolalia-langsung dan mengalami keterlambatan, ketertiban (kekakuan psikologis), gangguan koordinasi fisik, bahasa kurang, dan aktivitas yang berlebihan.
ASD (Autism spectrum disorder) is characterized by deficits related to social functioning (e.g., Klin et al. 2002), communication (e.g., Demouy et al. 2011), and restricted and repetitive behaviors (Leekam et al. 2011; Kanner 1943). Previous research has suggested that intervention prior to the age of 3 is asso- ciated with the best outcomes (Connor 1998.)[4]
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa karakteristik ASD (Autism spectrum disorder) ditandai dengan kurangnya hubungan fungsi sosial (Klin et al 2002.), komunikasi (Demouy et al 2011.), dan terbatas dan perilaku  yang repetitif (Leekam et al 2011 & Kanner 1943). Penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa intervensi sebelum usia 3 tahun adalah asosiasi dengan hasil terbaik (Connor, 1998).

C.     Faktor Penyebab Autis
1.      Faktor Genetik
Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan diujung akhir lengan panjang kromosom X 4. Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosom X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier).[5]  
2.      Ganguan pada Sistem Syaraf
Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin sehingga terjadi pertumbuhan otak yang abnormal, atau sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati.[6]Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku. 
3.      Ketidakseimbangan Kimiawi
Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autis berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi. Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 – 10 tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten dan makanan lain.[7]   Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri dan motivasi
1.      Kemungkinan Lain
Infeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak. Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat menyebabkan anak menderita autis

D.    Cara Penanganan Autis
1.      Model/ Jenis Sekolah yang Tersedia 
Intervensi sejak dini terhadap anak berkebutuhan khusus mutlak diperlukan.  Intervensi tersebut diberikan dalam bentuk terapi dan pendidikan yang efektif.  Ada bermacam-macam jenis pendidikan bagi anak autis karena anak autis mempunyai kemampuan serta hambatan yang berbeda-beda saat belajar. Untuk hal tersebut mari kita bahas jenis sekolah yang tersedia:[8]
a.       Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autis yang telah diterapi dan memerlukan layanan khusus termasuk anak autis yang terapi secara terpadu atau struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisai dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dengan acuan kurikulum yang sudah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan anak.
b.      Program Pendidikan Terpadu
Program pendidikan terpadu dilaksanakan di sekolah reguler dalam kasus/waktu tertentu, anak autis dilayani di kelas khusus untuk remidial atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autis di kelas khusus bisa sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
c.       Program Pendidikan Inklusi
Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan layanan bagi anak autis. Untuk membuka program ini sekolah harus memenuhi persyaratan antara lain: (1)guru terkait telah siap menerima anak autis, (2)tersedia ruang khusus untuk penanganan individual, (3)tersedia guru pemebimbing khusus dan guru pendamping, (4)dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2(dua) anak autis, (5)dan lain-lain yang dianggap perlu.
d.      Sekolah Khusus Anak Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autis terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat , minat yang sesuai dengan potensi mereka.
e.       Program Sekolah Di Rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autis yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak autis non verbal, mental retardasi dan gangguan motorik serta auditori yang serius dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orang tua dan masyarakat. 
f.       Panti (griya) Rehabilitasi Autis
Anak autis yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program di panti rehabilitasi difokuskan pada pengembangan : (1)Pengenalan diri, (2)Sensori motor dan persepsi, (3)Motorik kasar dan halus, (4)Kemampuan berbahasa dan komunikasi, (5)Bina diri kemampuan social, (6)Kemampuan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensi.
Penanganan pada anak autis ditujukan terutama untuk mengurangi atau menghilangkan masalah gangguan tingkah laku, meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam penguasaan bahasa dan keterampilan menolong diri. Supaya tujuan tercapai dengan baik diperlukan suatu program penanganan menyeluruh dan terpadu dalam suatu tim yang terdiri dari; tenaga medis antara lain dokter saraf dan dokter anak, tenaga pendidik, tenaga terapis seperti ahli terapi wicara dan ahli terapi okupasi.Beberapa penanganan yang telah dikembangan untuk membantu anak autis antara lain;
a.       Terapi Perilaku  (ABA, LOVAAS, TEACCH, Son-rise)
Anak autis seringkali merasa frustrasi. Teman- temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih akan mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
Terapi perilaku (behavior theraphy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan untuk mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku ini merupakan dasar bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak mata dan duduk mandiri) karena program dasar/kunci terapi perilaku adalah melatih kepatuhan, dan kepatuhan ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi-terapi lainnya seperti terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi, karena tanpa kepatuhan ini, terapi yang diikuti tidak akan pernah berhasil. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University of California Los Angeles (UCLA).
Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.   Perlakuan    ini  diharapkan  meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C; yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C (consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya pengajarannya yang terstruktur, anak autis kemudian memahami Behavior (perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak memperoleh Consequence/akibat (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang menyenangkan.
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini. 
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu, tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor : 1). Berat ringannya derajat autisme,  2). Usia anak saat pertama kali ditangani / terapi,  3). Intensitas terapi,  4). Metode terapi,  5). IQ anak,  6). Kemampuan berbahasa,  7). Masalah perilaku,  8). Peran serta orang tua dan lingkungan.
            Metode lain dari terapi perilaku ini adalah terapi bermain Son rise.  Son rise adalah program terapi berbasis rumah untuk anak-anak dengan yang mengalami gangguan  komunikasi dan interaksi sosial. Program ini dapat membantu meningkatkan kontak mata, menerima keberadaan orang lain. Dan yang lebih penting, program ini, tidak memberikan punishment berupa kekerasan kepada anak. Proses ini dilakukan dengan harapan, anak mereka dapat ”berubah” dan menjadi kondisi yang lebih baik. Metode ini tidak bisa diterapkan/diimplementasikan pada semua kasus, terutama kasus autis yang masih berada pada tahap kurikulum awal. Kemampuan perkembangan bermain, merupakan hal yang penting dalam program ini, selain juga kemampuan komunikasi dan sosialisasi.
Program son rise, menyatakan bahwa, jika kita mengadakan pendekatan ke anak secara positif, dengan rasa cinta, akan membuat anak menjalin interaksi dengan kita, dibandingan bila kita mengedepankan sikap marah dll.  Ide dasar teori ini adalah bahwa setiap anak termasuk autisme, lebih menyukai suasana belajar yang menyenangkan. Banyak orang tua berusaha menerima keberadaan anak mereka yang terdiagnosa autis, son rise menekankan bahwa peran serta orang tua dapat memberikan support yang positif bagi perkembangan / kemajuan anak mereka.
Dengan program terapi yang lain seperti Metode DIR / floortime, memiliki kesamaaan dalam hal kebutuhan arti cinta dan ”penerimaaan”. Dengan asumsi  bahwa  anak-anak autis, memiliki  rasa dan  mengerti tentang, keberadaan kita, bahasa tubuh, dan bahasa verbal lainnya. Son-rise digunakan sesuai dengan kondisi anaknya, anak diberi tujuan untuk mengikuti, (mengikuti anak sesuai dengan tugas yang diberikan) sedangkan  floor-time murni bermain dengan tugas yang diberikan/bermain bebas saja. 
TEACCH (Treatment and Education of Austistic and Related Communication Handicapped Children and Adults). Kemampuan berbicara dan sosial seseorang menentukan tingkat perkembangan sosialnya, atau tingkat penguasaan kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat serta menentukan kemandirian dan kesiapan anak dalam mengikuti proses belajar di sekolah. Kekuatan dasar ini sangat menentukan kemampuan perilaku adaptif anak, yang dalam pengertian lebih sempit diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan kebiasaan yang dapat diterima secara sosial. Penekanan pada aspek sosial ini sangat penting mengingat manusia, termasuk anak autis adalah makhluk sosial dan mempunyai kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu perlu dikembangkan kemampuan psikososialnya dengan menggunakan metode ini.  
b.      Terapi Wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena anak autis mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.  Tujuannya adalah untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. 
Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autis yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.  
c.       Terapi Okupasi
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk melatih motorik halus anak. Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot halusnya dengan benar. Contohnya  Floortime. 
d.      Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai   gangguan       perkembangan     dalam  motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.  Hydroterapi, merupakan salah satu contoh terapi fisik yang dapat  membantu anak autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak. 
e.       Terapi Bermain
Untuk melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain. Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu. Terapi bermain ini bertujuan selain untuk bersosialisasi juag bertujuan untuk terapi perilaku, bermain sesuai aturan. 
f.       Terapi Medikamentosa
Obat-obatan (drug therapy) untuk menenangkan melalui pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang., untuk kebaikan dan kebugaran kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak dari keracunan logam berat,efek elergi. Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autismem Now).
Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autis. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan.
Ternyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis). 
g.       Terapi Melalui Makan (diet therapy)
Untuk mencegah atau mengurangi tingkat ganggguan autisme.
h.      Terapi integrasi sensoris
Untuk melatih kepekaan dan koodinasi daya indra anak autis. Terapi Integrasi Auditori, untuk melatih kepekaan pendengaran supaya lebih sempurna. Dapat menggunakan snozellen. 
i.        Terapi Musik
Untuk melatih audiotori anak,menekan emosi,melatih kontak mata dan konsentrasi. 
j.        Terapi Anggota Keluarga
Memberi perhatian yang penuh. Bisa dengan menggunakan konseling kognitif perilaku (KKP). 
k.      Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya. 
l.    Terapi Perkembangan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. 
Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik. 
m.    Media Visual Individu
Autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya  dengan metode PECS (Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi. Contoh lain menggunakan Computer picture. Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak, tergantung dari kondisi  kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai dengan kebutuhan anak, namun terapi utama bagi anak adalah terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi.




[1] Colwyn Threvarthen, Children With Autism, Second Edition (Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher, 1999).
[2] Ibid
[3] Christopher D Webster, Autism New Directions in Research and Education (U.S.A: Pergamon Press, 1980)., hh. 6-10
[4] Angela Scarpa., et.all, “The Modified Checklist for Autism in Toddlers: Reliability in a Diverse Rural American Sample,” J Autism Dev Disord, Vol 43, Spring, hh. 2269–2279
[5] Melly, Budiman, Gangguan Metabolisme pada Anak Autistik di Indonesia, (makalah) (Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I, 2003)
[6] Hartono D, Pusponegoro, Pandangan Umum mengenai Klasifikasi Spektrum  Gangguan Autistik dan Kelainan Susunn saraf Pusat (makalah) (Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I, 2003)
[7] Melly, Budiman., op.cit.
[8] Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme YPAC

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Melly. 2003. Gangguan Metabolisme pada Anak Autistik di Indonesia, (makalah). Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I

Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme YPAC

Pusponegoro, Hartono D. 2003. Pandangan Umum mengenai Klasifikasi Spektrum  Gangguan Autistik dan Kelainan Susunn saraf Pusat (makalah). Jakarta: Konferensi Nasional Autisme-I

Scarpa, Angela., et.all. (2013). “The Modified Checklist for Autism in Toddlers: Reliability in a Diverse Rural American Sample”. J Autism Dev Disord, 43, 2269–2279. Diperoleh e-resources.pnri.go.id pada 16 November 2014

Threvarthen, Colwyn. (1999) Children With Autism, Second Edition. Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher
Webster, Christopher D. (1980). Autism New Directions in Research and Education. U.S.A: Pergamon Press



Komentar