Kreativitas Anak Usia Dini



1.        DASAR TEORI
A.    PENGERTIAN KREATIVITAS
Menurut Drevdahl kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya.
Menurut Supriadi, dalam Yeni dkk, 2010–13 menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relative berbeda dengan yang telah ada.[1]
Menurut semiawan mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memberikan gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah sedangkan menurut Chaplin dalam yeni mengutarakan bahwa kreativitas adalah kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni atau dalam permesinan atau dalam memecahkan masalah-masalah dengan metode baru.
Rahmawaty mengemukakan Kreativitas adalah suatu proses mental individu yang melahirkan gagasan, proses, metode, ataupun produk baru yang efektif yang bersifat imajinatif, estetis, fleksibel, integrasi, suksesi, diskontinuitas dan diferensiasi yang berdaya guna dalam berbagai bidang untuk pemecahan suatu masalah.
Drevdahi mengemukakan pendapatnya mengenai kreativitas yang merupakan kapasitas seseorang untuk menciptakan komposisi, hasil  atau ide secara esensial baru dan sebelumnya tidak dikenal oleh penghasil.[2]
Dapat dikatakan kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru.
A.      Pandangan Tentang Kreativitas
Kreativitas merupakan konsep yang perlu dijelaskan berdasarkan berbagai sudut pandang. Hal ini disebabkan setiap sudut pandang memiliki keunikan dalam menjelaskan makna kreativitas. Berbagai sudut pandang tersebut didasarkan pada berbagai teori yang menjelaskan tentang kreativitas. Jamaris (2013:74-78) mensintesis berbagai pandangan tentang kreativitas seperti yang diuraikan pada bagian berikut ini.
1.        Pandangan Behaviorisme
Teori behaviorisme menyatakan bahwa kreativitas bukan merupakan hasil dari inisiatif individu tanpa pengaruh dari lingkungan. Kreativitas merupakan suatu kemampuan yang bersifat genetik yang berkembangn karena pengaruh yang diterima oleh individu dari lingkungan di sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Skinner menyatakan bahwa lingkungan berpengaruh pada perkembangan individu. Pengalaman individu berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini lingkungan memberikan contoh atau model untukberperilaku dan bertindak dalam cara-cara yang khusus, termasuk bertindak secara kreatif menjadi dasar kemampuan individu dalam kreativitas.
2.        Pandangan Psikoanalis
Teori yang berbasis pada perkembangan kepribadian menjelaskan bahwa kreativitas merupakan bagian dari kepribadian. Berkaitan dengan hal tersebut, Kitano dan Kirby (1986) dalam Jamaris (2013:75), memandang kreativitas sebagai mekanisme kontrol yang dilakukan oleh manusia terhadap berbagai tekanan yang dialaminya. Adanya tekanan yang dialami individu maka akan terjadi kemunduran atau regresi. Oleh sebab itu, individu berusaha untuk mengendalikan regresi. Psikoanalisis memandang kreativitas proses pelepasan terhadap pelepasan kontrol ego sehingga ambang sadar manusia dapat terungkap secara bebas. Pengungkapan tersebut dapat berbentuk berbagai karya, seperti karya seni, lukisan atau musik, dan karya lainnya.
3.        Pandangan Humanisme
Carl Roger dan Abraham Maslow dalam Jamaris (2013) mengemukakan bahwa kreativitas sebagai salah satu aspek kepribadian yang berkaitan dengan aktualisasi diri. Oleh sebab itu, setiap individu sejak lahir memiliki potensi untuk menjadi kreatif. Perkembangan potensi kreatif sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan di sekitar individu tersebut.
Carl Rogers mengemukakan ada 3 kondisi dari pribadi yang kreatif, adalah keterbukaan terhadap pengalaman, kemampuan untuk menilai situasi sesuai dengan patokan pribadi seseorang, dan kemampuan untuk bereksperiman atau untuk ‘bermain’ dengan konsep-konsep.


4.        Pandangan Kognitivisme
Para kognitivist memandang kreativitas sebagai suatu proses mental yang terjadi pada waktu manusia memahami lingkungannya dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Seperti yang dikemukakan oleh Sternberg dan Williams (2012:2) dalam Jamaris (2013) menjelaskan bahwa kreativitas memerlukan kemampuan dalam menyeimbangkan proses berpikir secara sintesis, berpikir analisis dan berpikir praktis dalam mengolah informasi yang digunakan untuk memecahkan masalah[3]. Oleh sebab itu, untuk menjadi kreatif, seorang individu perlu memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan tiga proses berpikir tersebut.
B.       Dimensi Kreativitas
Terdapat empat dimensi yang sering disebut (4P) yang melandasi pengembangan kreativitas menurut Kaufman, diantaranya: (1) Person atau pribadi (2) Press atau pendorong, (3) Process atau proses, dan (4)  Product atau produk.[4] Berikut ini akan dideskripsikan secara rinci keempat dimensi kreativitas.
1.      Person
Kreativitas merupakan ungkapan (ekspresi) dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Ungkapan kreatif tersebut yang mencerminkan individu tersebut.
 2.      Press
Bakat kreatif anak akan terwujud jika ada dorongan dan dukungan dari lingkungannya atau pun jika ada dorongan kuat dari dalam dirinya sendiri untuk menghasilkan sesuatu.
3.      Process
Untuk mengembangkan kreativitas, anak perlu diberi kesempatan untuk berpikir secara kreatif. Pendidik hendaknya dapat merangsang anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan.
4.      Product
Kondisi yang memungkinkan bagi seseorang untuk menciptakan produk kreatif yang bermakna adalah kondisi pribadi dan lingkungan. Kedua hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses kreatif.
C.      Aspek Kreativitas
Williams mengungkapkan terdapat beberapa aspek mendasar yang menyusun kreativitas seseorang, diantaranya: (1) Ketangkasan, (2) Fleksibilitas, (3) Orisinalitas, dan (4) Elaborasi.[5] Aspek-aspek tersebut akan dideskripsikan sebagai berikut:
1.      Ketangkasan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan pemikiran atau pertanyaan dalam jumlah banyak.
2.      Fleksibilitas, Guildford mengungkapkan bahwa fleksibilitas mencerminkan kemampuan untuk cepat menghasilkan berbagai pemikiran yang berkembang menjadi berbagai macam pemikiran yang berbeda dan berkaitan dengan satu sikap tertentu.
3.        Orisinalitas, yaitu kemampuan untuk berpikir dengan cara yang baru atau dengan ungkapan yang unik, dan kemampuan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran jenius yang lebih banyak daripada pemikiran yang telah menyebar dan diketahui
4.      Elaborasi, yaitu kemampuan untuk menambah hal-hal yang detail dan baru atas pemikiran-pemikiran atau suatu hasil produk tertentu. Seperti, mengambil suatu pemikiran yang sederhana, kemudian dimodifikasi dan menjadikannya lebih menarik.
D.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas Anak
Lehmen memberikan gambaran mendasar tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas anak. Faktor-faktor tersebut antara lain:[6]
1.      Rumah
Rumah merupakan salah satu kondisi yang mempengaruhi perkembangan kreativitas anak. Rumahlah yang dianggap sebagai lingkungan  pertama yang membangkitkan kemampuan alamiah anak untuk berpikir kreatif. Untuk itu, penting bagi orangtua untuk menyadari bahwa setiap anak memiliki kepribadian yang unik, pribadi yang mempunyai minat yang berbeda-beda.
2.      Sekolah
Sekolah kerap lebih memberikan penghargaan pada berpikir konvergen daripada divergen. Dengan cara tersebut, tentunya dapat menghambat kreativitas berpikir anak. Untuk itu, pembelajaran yang diberikan di sekolah hendaknya dibuat sedemikian rupa agar anak dapat berpikir secara holistik dan memberi makna bagi perkembangan kreativitas anak.
3.      Lingkungan Sosial
Kondisi masyarakat terkadang kurang mendukung sikap kreatif anak dan kurang memberikan penghargaan pada usaha-usaha kreativitas yang dilakukan anak. Hal tersebut dapat menjadi penghambat munculnya kreativitas dari dalam diri anak. Untuk itu, orangtua, pendidik, dan masyarakat hendaknya menyediakan suasana yang kondusif dalam upaya mengembagkan kreativitas anak.
4.      Status Ekonomi
Anak-anak yang berasal dari latar belakang status ekonomi sosial tinggi cenderung lebih kreatif daripada yang berasal dari status ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan mereka memiliki fasilitas yang dapat menunjang perkembangan kreativitas mereka.
E.       Faktor Penghambat Krativitas
Amabile mengungkapkan terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat kreativitas anak, diantaranya: (1) evaluasi, (2) hadiah, (3) persaingan/kompetisi antara anak, dan (4) lingkungan yang membatasi. Hal senada juga diungkapkan oleh Mursi bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menghambat kreativitas anak, diantaranya:[7] (1) tindakan orang lain yang membuat anak merasa dirinya kurang atau tidak disukai, (2) ketakutan anak menghadapi hinaan atau kritikan, (3) takut gagal, (3) tidak adanya motivasi, (4) tidak adanya perhatian pada anak, (5) pendidikan orangtua yang salah, (6) orangtua atau guru menganut konsep yang salah sehingga mereka menghambat anak untuk melakukan upaya kreatif dan mencari tahu, dan (7) orangtua atau guru melupakan pentingnya berkarya bagi anak dan tidak membiasakan anak untuk berkarya. Sementara itu menurut Torrance beberapa hal yang dapat menghambat  kreativitas anak diantaranya: (1) usaha terlalu dini untuk mengeliminasi fantasi, (2) pembatasan terhadap rasa ingin tahu anak, (3) terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan seksual, (4) terlalu banyak melarang,  (5) takut dan malu, (6) penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal tertentu, dan (7) memberikan kritik yang bersifat destruktif.
F.       Hal-hal yang Dapat Mengembangkan Kreativitas
Secara umum, Amabile (1989) menyebutkan terdapat beberapa upaya yang biasa dilakukan untuk mengembangkan kreativitas anak, diantaranya:[8]
1.      Kebebasan, artinya tidak selalu berusaha mengendalikan anak-anaknya dan tidak merasa cemas dengan apa yang dilakukan oleh anak.
2.      Rasa hormat, artinya menghargai dan menghormati keberadaan anak sebagai individu yang unik dan memiliki kemampuan yang berbeda.
3.      Kedekatan emosional, artinya pendidikan tidak bersikap mengekang yang menyebabka anak tergantung pada orang lain.
4.      Nilai dan bukan peraturan, artinya tidak menjejali anak dengan peraturan-peraturan yang detail.
5.      Prestasi dan bukan angka, artinya lebih menekankan pentingnya meraih hal-hal sebaik mungkin dengan tidak menekankan anak untuk memperoleh angka yang baik di rapor.
6.      Orangtua aktif, orangtua memiliki minat yang beragam baik di dalam maupun di luar rumah dan tidak menekankan pada perbedaan status sosial serta tidak terpengaruh pada tuntutan sosial.
7.      Menghargai kreativitas, yaitu mendukung anak untuk melakukan hal-hal yang kreatif melalui permainan ataupun pengalaman yang telah dimiliki anak.
2.        APLIKASI DALAM PENDIDIKAN PAUD
Pada anak usia dini, pengembangan kreativitas selalu berhimpit dan menjadi satu dalam satu kegiatan bermain. Para pakar sepakat bahwa, bermain yang selalu bermuatan kreatif merupakan suatu aktivitas yang membantu anak mencapai perkembangan fisik, intelektual, sosial, moral, dan emosional.[9] Oleh karena itu, perlu disediakan peralatan dan bahan permainan yang memudahkan penemuan minat baru dan penyampaian gagasan, perasaan, serta ekspresi daya kreasi anak. Mengacu pada Treffinger, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengkondisikan suasa yang mendukung tumbuh dan berkembangnya kreativitas anak dalam kegiatan belajar yang diuraiakan sebagai berikut :[10]
1.      Pengaturan fisik atau lingkungan kelas
a.       Pengaturan fisik dalam kelas harus diperhatikan, seperti pengaturan tempat duduk untuk berdiskusi secara melingkar atau sebagian anak dapat duduk di lantai dalam diskusi kelompok.
b.      Ruang kelas perlu dilengkapi dengan perpustakaan mini yang lengkap. Akan lebih baik apabila dilengkapi dengan bahan permainan yang memungkinkan siswa dapat melakukan kegiatan konstruktif.
c.       Ruang kelas perlu dilengkapi dengan ruang kerja mandiri bagi anak yang membutuhkan.
2.      Persiapan yang perlu dilakukan guru dalam layanan pembelajaran
a.       Didalam pembelajaran, guru lebih bertugas sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, mempunyai tugas untuk mendorong anak mengembangkan idea atau inisiatif dalam menjajaki tugas-tugas baru.
b.      Gagasan baru dari semua anak harus diterima secara terbuka serta berupaya untuk dipahami
c.       Menciptakan pelayanan pembelajaran yang menjadikan anak merasa bebas mengemukakan pikiran atau pendapat serta gagasan-gagasan yang berbeda dengan yang lain (gagasan yang aneh atau tidak lazim)
d.      Guru perlu memupuk kemampuan diri sendiri, mengkritik secara konstruktif, dan memberikan penilaian terhadap diri sendiri secara obyektif.
e.       Guru perlu memhami dan menerima perbedaan kecepatan antar anak dalam melahirkan ide-ide baru
Saran untuk menciptakan iklim dan suasana yang mendorong dan menunjang pemikiran peningkatan kreativitas yang dikemukakam oleh Semiawan antara lain:[11]
1.      Bersikaplah terbuka terhadap minat dan gagasan anak.
2.      Berilah waktu kepada anak untuk memikirkan dan mengembangkan idea atau gagasan kreatif. Kreativitas tidak timbul secara langsung dan spontan.
3.      Ciptakan suasana saling menghargai dan saling menerima antara anak dengan anak, anak dengan orang tua, anak dengan guru atau pengasuh, sehingga antara mereka dapat belajar, bekerjasama, maupun mandiri dengan baik.
4.      Kreativitas dapat diterapkan di semua bidang kurikulum dan bukan monopoli seni.
5.      Suasana yang hangat dan mendukung memberi keamanan dan kebebasan untuk berpikir menyelidik (eksploratif).
6.      Berikaplah positif terhadap kegagalan dan bantulah anak untuk menyadari kesalahan atau kelemahan serta usahakan peningkatan gagasan dan usahakan memenuhi syarat, dalam suasana yang menunjang dan mendukung.
Uraian diatas merupakan syarat minimal yang harus diupayakan guru khususnya dalam kaitannya dengan terciptanya suasana pembelaharan yang kondusif bagi tumbuhnya kreatifitas anak.
3.        Permainan yang Menstimulasi Kreativitas Anak
Dunia anak adalah dunia bermain, jadi apa pun kegiatan pembelajarannya harus menekankan pada tumbuh kembang anak bukan pada materi pembelajaran, memberikan permainan yang menarik dapat menjadi solusinya. Terdapat beberapa jenis permainan yang dapat menstimulasi kreativitas anak diantaranya, (1) constructive play, (2) mastery play, (3) dramatic play, dan (4) imaginative atau make believe play.[12] Berikut ini akan dideskripsikan secara ringkas jenis-jenis permainan yang dapat menstimulasi kreativitas anak.
(1)   Constructive Play
Rubin, Fein & Fandenberg dan Smilansky mengemukakan bahwa bermain membangun sudah dapat terlihat pada anak usia 3-6 tahun. Dalam kegiatan bermain ini, anak membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya anak memiliki inisatif membangun rumah-rumahan dari balok atau lego, menggambar, menyusun kepingan-kepingan kayu bergambar dan lain sebagainya. Permainan-permainan tersebut mengasah otak anak untuk berpikir secara kreatif membangun sebuah bangunan dengan alat-alat yang tersedia.
(2)   Mastery Play
Sebagian besar kegiatan bermain pada anak disebut sebagai mastery play atau bermain untuk menguasai keterampilan tertentu karena kegiatan tersebut dapat merupakan latihan bagi anak untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang baru baginya melalui pengulangan-pengulangan yang dilakukan anak. Saat anak mulai lancar berjalan, anak juga suka berguling-guling, melompat-lompat, berputar-putar, dan kegiatan pengulangan lainnya. Sejalan dengan bertambahnya usia dan berkembangnya kemampuan kognitif anak, mastery play pada anak semakin banyak mencakup permainan yang mengasah kecerdasan atau melibatkan kegiatan berpikir memecahkan masalah. Misalnya, mengisi teka-teki atau bermain tebak-tebak. Menelusuri jalur gambar jalan tikus (maze), mengelompokkan benda, dan menyusun potongan gambar, menyusun huruf-huruf untuk membentuk kata-kata atau kalimat tertentu.
(3)   Dramatic Play
Dramatic play mulai tampak sejalan dengan tumbuhnya kemampuan anak untuk berpikir simbolik. Dalam bermain peran atau khayal ini, anak mengasah imajinasinya seperti megajak berbicara bonekanya, bermain, menyuapi, dan mengenakan pakaian untuk bonekanya. Catherine Garvey mengemukakan bahwa dalam permainan ini, sekelompok anak biasanya bekerjasama untuk menciptakan sebuah jalan cerita sendiri dalam kegiatan bermainnya. Anak juga dapat memerankan tokoh-tokoh orang dewasa seperti berperan menjadi seorang ibu, ayah, atau tokoh lain yang anak idolakan seperti pilot, power ranger, ksatria baja hitam, dan tokoh-tokoh lainnya.
(4)   Imaginative atau Make Believe Play
Kegiatan bermain khayal atau pura-pura dimulai sejak anak berusia 3 tahun. Kegiatan bermain ini memperlihatkan unsur imajinasinya dan peniruan terhadap perilaku orang dewasa. Misalnya, bermain dokter-dokteran, ibu-ibuan, masak-masakan, sekolah-sekolahan, polisi-polisian, dan permainan lainnya. Kegiatan bermain ini dikategorikan sebagai kegiatan bermain peran oleh Stasen Berger dan Catherine Garvey. Khayalan anak seringkali menggambarkan keinginan, perasaan, dan pandangan anak mengenai dunia sekelilingnya. Garvey mengungkapkan, dalam kegiatan bermain ini, anak seringkali mengubah identitasnya, namanya, cara bicaranya, cara berpakaiannya, maupun melakukan tindakan yang sama sekali berbeda dengan perilakunya sehari-hari. Khayalan anak juga mencerminkan keaslian atau kemampuan menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Melalui khayalannya dalam bermain, anak menemukan gagasan-gagasan yang asli hasil ciptaannya sendiri dan selalu menemukan hal-hal baru yang menyenangkan. Misalnya, anak dapat mengkhayalkan sebatang kayu seperti kapal terbang. Menurut Piaget, kemampuan anak untuk berkhayal berkaitan dengan perkembangan kemampuan simbolik yang sudah dicapai anak.


DAFTAR PUSTAKA
Jamaris, Martini. Orientasi dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013)
Khalili AL. Mengembangkan Kreativitas Anak, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006)
Mutiah Diana. Psikologi Bermain Anak Usia Dini, (Jakarta: Kencana, 2010)
Ramli.FaktorfaktorPendukungdanPenghambat.http://ramlimpd.blogspot.com/2010/10/faktor-pendukung-dan-penghambat.html. (Diakses pada tanggal 29 Maret 2014)
Reni, Akbar. Psikologi Perkembangan Anak (Jakarta: Grasindo, 2001)
Munandar , Utami.  2001. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi. Jakarta: UI press
Pengembangan Kreativitas dan Keberbakatan. Jakarta: Rineka Ciptah. 2012
Semiawan, Conny. 2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini: Pendidikan Prasekolahdan Dasar . Jakarta: Prenhalindo
Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Terbukaindeks. 2009
Suratno. 2005. Pengembangan Kreativitas Anak Usia Dini. Jakarta : Departemen  Pendidikan
Santrock, John W. ,Life-Span Development , terjemahan Juda Damanik dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga, 2002.


[1] Yeni Rachmawati dan Euis Kurniati. Strategi Penegembangan Kreativitas Pada Anak. (Jakarta : Kencana, 2010) h 13
[2] Elizabeth B. Hurlock. Child Development. (Singapore, Tokyo : Mc. Graw-Hill Book Company, 1985). p. 326
[3] Martini Jamaris., op.cit. h. 77
[4] James C. Kaufman, Jonathan A. Plucker, & John Baer, Essential of Creativity. (Jersey: John Wiley & Sons, InC. 2008)., pp. 1-6
[5] Al-Khalili, Mengembangkan Kreativitas Anak (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006)., h. 29
[6] Ibid., hh. 140-141
[7] Syaikh Muhammad Said Mursi, Seni Mendidik Anak (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar)., hh. 459-460
[8] Reni Akbar, op. ci.t, hh. 115-116
[9] Freeman & Munandar. Cerdas dan Cemerlang (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama: 2002)., h. 85
[10] Treffinger, D. Research On Creativity (Giften Child Quarterly: 1986)., h. 93
[11] Semiawan, C. Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah (Jakarta: Gramedia, 1984)., h. 53
[12] Mayke S. Tedjasaputra. Bermain, Mainan, dan Permainan (Jakarta: Grasindo, 2001),p. 28-36

Komentar