Kontruktivisme



A.    BATANG TUBUH KONSTRUKTIVISME
1.      DEFINISI
Konstruktivisme memandang bahwa peserta didik secara individu dan atau kolaborasi membangun pengetahuannya sendiri. Konstruktivisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang berkeyakinan bahwa anak dapat membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri tentang dunia disekitarnya atau dengan kata lain, anak dapat membelajarkan dirinya sendiri melalui berbagai pengalamannya. Anak-anak belajar melalui pengalaman yang ada pada diri mereka. Kemampuan ini dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menghadapi situasi baru dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya, anak mencoba menyesuaikan dirinya dengan situasi baru tersebut.
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran dalam lembaga pendidikan baik di universitas maupun sekolah-sekolah.
Paham konstruktivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru di sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada murid dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu membangun suatu pengetahuan dari pengalaman yang dimilikinya. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh mengajarkan begitu saja untuk muridnya. Untuk membantu murid membangun konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengetahui struktur kognitif yang mereka miliki. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan bagian dan pegangan yang kuat bagi mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat disusun. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan  guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.
Jadi anak menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivisme adalah gagasan mengenai pemahaman dan pengetahuan anak dibangun berdasarkan pengalamannya.

2.      KONSEP UTAMA
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa konstruktivisme dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa anak atau siswa dapat mengkonstruk atau membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri. Oleh sebab itu, belajar adalah proses mengakomodasi pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh pengetahuan yang baru yang terjadi dalam rangka mencocokkan apa yang telah diketahui dengan apa yang dihadapi.
Pendekatan konstruktivisme pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari yang dalam pembelajaran didominasi guru menjadi pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalaman, pengetahuan, dan pengertiannya dan kesiapan mereka untuk tahu dari pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini, dapat dilihat permulaan aliran konstruktivisme, peranan pengalaman siswa dalam belajar, dan cara mengasimilasi pengertiannya.
Konsep penting dalam penerapan konstruktivisme di bidang pendidikan adalah zone of proximal development yang diterapkan melalui scaffolding yang dicetuskan oleh Vygotsky, yaitu suatu proses pemberian bimbingan pada siswa berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya kepada apa yang harus diketahuinya.
Di dalam mengembangkan keterampilan dalam pemecahan masalah, perlu dipertimbangkan:
a.       Keterampilan yang belum dikuasai siswa
b.      Keterampilan yang tidak dapat dilakukan siswa
c.       Keterampilan yang mungkin dapat dilakukan siswa
d.      Keterampilan yang dapat dilakukan siswa dengan bantuan orang lain.
Guru yang bijaksana memberikan dukungannya pada siswa dalam usahanya mencapai perkembangannya secara optimal. Oleh sebab itu, scaffolding merupakan aspek yang penting di dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang menerapkan prinsip konstruktivisme dikelola melalui pendekatan lingkungan secara nyata yang dilakukan dengan berbagai kegiatan nyata. Beberapa prinsip penerapan konstruktivisme dalam pendidikan menurut Jamaris antara lain:
a.       Belajar perlu dimulai dari isu-isu yang berkaitan dengan kegiatan siswa dalam mengkonstruk pemahaman dan pengetahuanya secara aktif. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa belajar adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka menemukan makna dari apa yang dipelajari.
b.      Proses pembelajaran perlu disusun dengan memperhatikan konsep utama dan bagian-bagian yang berkaitan dengan konsep utama tersebut. Hal ini disebabkan karena kebermaknaan mempersyaratkan pemahaman konsep, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian dari konsep.
c.       Pemahaman terhadap model mental yang digunakan siswa dalam memahami dunia disekitarnya dan asumsi-asumsi yang menjadi dasar dalam pengembangan model mental tersebut perlu dipahami oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses pembelajaran.
d.      Pembelajaran perlu disajikan dalam konteks yang dapat membantu siswa untuk membangun pemahaman dan pengetahuannya secara interdisiplin. Hal ini disebabkan karena tujuan belajar bukan hanya menghafal, akan tetapi memahami sesuatu dalam konteks yang mengandung makna.
e.       Asesmen merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini disebabkan karena asesmen tidak dilakukan hanya untuk mengetahui hasil belajar yang dilakukan di akhir proses belajar. Sehubungan dengan hal tersebut, sumber belajar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas belajar siswa perlu disediakan.
f.       Pembelajaran yang menerapkan pendekatkan konstruktivisme menekankan peranan pendidikan dalam menghubungkan fakta-fakta yang ada dapat mempertajam pemahaman siswa dalam usahanya membangun pengetahuan barunya sendiri. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran yang digunakan adalah strategi yang mampu mendorong siswa untuk melakukan analisis , interpretasi dan memprediksi. Berkaitan dengan hal tersebut, guru disarankan untuk mengajukan pertanyaan yang bersifat open-ended question atau pertanyaan yang dapat memunculkan berbagai pendapat yang bersifat divergent, artinya pertanyaan yang tidak dijawab dengan jawaban ya atau tidak. Dengan demikian dialog antar siswa dapat terjadi dengan baik.
Pandangan konstruktivisme tentang proses perkembangan manusia mempengaruhi berbagai kebijakan dan tindakan yang diterapkan di dalam dunia pendidikan dan pembelajaran, seperti yang dijelaskan berikut ini:
a.       Konstruktivisme memodifikasi teori pendidikan dan pembelajaran ke arah yang lebih manusiawi dengan memadukan kemampuan yang ada di dalam diri individu dengan lingkungan yang ada di sekitarnya serta pemberian kesempatan pada anak untuk menentukan strategi belajarnya, lingkungan belajarnya, proses dan kecepatan belajarnya.
b.      Konstruktivisme memodifikasi tugas-tugas dan peranan guru dari bersifat menentukan berubah menjadi memberikan bantuan kepada siswa dalam mengkonstruksi pemahaman dan pengetahuannya. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran fungsi dan perranan guru adalah sebagai fasilitator, mediator, dan motivator.
1)      Guru adalah fasilitator
Sebagai fasilitator, guru perlu menyediakan media dan peralatan yang diperlukan siswa untuk memecahkan masalah dan melakukan kegiatan inquiry (penyelidikan) dan discovery (penemuan). Oleh sebab itu, dalam mendesain proses pembelajaran guru yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam menganalisis, memprediksi, sehingga secara kreatif membangun pengetahuannya sendiri.
2)      Guru merupakan mediator
Sebagai mediator dalam proses pembelajaran, guru perlu dengan mengatur lingkungan belajar yang bersifat problem based learning atau belajar berdasarkan masalah yang dihadapi yang membuat siswa mampu memformulasikan dan mengevaluasi ide-idenya, menarik kesimpulan dan memahami implikasinya, serta menyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan siswa bekerja sama secara kolaboratif dengan siswa lainnya. Dengan demikian, guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan strategi belajar yang dipilihnya sendiri.
3)      Guru adalah motivator
Sebagai motivator dalam proses belajar siswa, guru dapat melakukannya dengan jalan mendorong siswa untuk melaksanakan brain storming atau bertukar pikiran, berdiskusi dengan pihak-pihak terkait apabila diperlukannya. Selanjutnya, guru juga perlu mendorong siswa untuk menggunakan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, guru yang menerapkan pendekatan konstruktivisme menghargai autonomi dan inisiatif siswa.
Dapat dijelaskan peranan antara pendidik dan peserta didik menurut aliran konstruktivisme adalah sebagai berikut:
No.
Peranan Peserta Didik
Peranan Pendidik
1.
Berinisiatif mengemukakan masalah dan pokok pikiran, kemudian menganalisis dan menjawabannya sendiri.
Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
2.
Bertanggung jawab sendiri terhadap kegiatan belajarnya atau penyelesaian suatu masalah.
Memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau proses mental siswa, bukan kepada kebenaran jawaban siswa saja.
3.
Secara aktif bersama dengan teman sekelasnya mendiskusikan penyelesaian masalah atau pokok pikiran yang mereka munculkan, dan apabila dirasa perlu dapat menanyakannya kepada guru.
Guru perlu fleksibel dalam merespons jawaban atau pemikiran siswa. Menghargai pemikiran siswa dan meghindari perkataan “Ini satu-satunya jawaban benar”
4.
Atas inisiatif sendiri dan mandiri berupaya memperoleh pemahaman yang mendalam (deep understanding) terhadap suatu topik masalah belajar.
Guru perlu menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sehingga belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan dapat terwujud.
5.
Secara aktif mengajukan dan menggunakan berbagai hipotesis (kemungkinan jawaban) dalam memecahkan suatu masalah.
Memaklumi akan adanya perbedaan individual, termasuk dalam hal perkembangan kognitif siswa.
6.
Secara aktif mengajukan berbagai data atau informasi pendukung dalam penyelesaian suatu masalah atau pokok pikiran yang dimunculkan sendiri atau yang telah dimunculkan oleh teman sekelas.
Guru perlu menyampaikan tujuan pembelajaran dan apa yang akan dipelajari di awal kegiatan belajar. Hal ini akan mempengaruhi keaktifan siswa, karena ia tahu apa yang akan di pelajari dan untuk apa ia terlibat dalam pembelajaran.
7.
Secara kreatif dan imajinatif mengaitkan antara gagasan yang telah dimiliki dengan informasi baru yang diterima.
Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk dapat mengetahui apa yang telah mereka ketahui dan apa yang mereka pikirkan.

B.     APLIKASI DALAM PENDIDIKAN DI PAUD
  Anak usia dini bisa memperoleh pengetahuannya dengan menerapkan kegiatan yang berlandaskan teori konstruktivisme ini. Kaum konstruktivis menyatakan bahwa kita dapat mengetahui sesuatu melalui indera kita. Dengan berinteraksi terhadap obyek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau, merasakan dan lain-lainnya orang dapat mengetahui sesuatu. Bagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu bukanlah suatu yang sudah pasti, tetapi merupakan suatu proses menjadi.
Kegiatan yang bisa dilakukan misalnya, dengan mengamati pasir, bermain dengan pasir, seorang anak membentuk pengetahuannya akan pasir. Selain itu anak juga bisa melakukan kegiatan sains sederhana seperti percobaan terapung, melayang dan tenggelam, pencampuran warna, percobaan larut tidak larut serta kegiatan sains sederhana lainnya yang sekiranya bisa dilakukan oleh anak.
Tentunya dalam pelaksanaannya, kegiatan yang dilakukan dibuat dengan konsep menyenangkan dan menghadirkan suasana yang baru agar anak merasa senang dalam melakukan kegiatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA


http://www.scribd.com/doc/35776081/teori-vygotsky. Diunduh pada 18 Januari 2015 pukul 13.45 WIB

Ibrahim. (1988). Inovasi Pendidikan. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Jamaris, Martini. (2013). Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Johnson, D.W. & Johnson, R. (1989), Cooperation and Competition: Theory and Research. Edina, MN: Interaction Book Company.

Lie, Anita (2007). Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : Grasindo,

Mustaji. (2009). Teori dan model pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana.

Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.

Slavin, R.E, (2008). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek. Jakarta : PT Indeks

 

Komentar

Posting Komentar