Filsafat Ilmu Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Filsafat ilmu merupakan mata kuliah yang banyak sekali dikeluhkan oleh mayoritas mahasiswa karena merupakan akar dari ilmu pengetahuan dan sumber dari segala ilmu yang cukup membuat mahasiswa untuk merenung dan berpikir. Disini saya akan membahas mengenai  ilmu pengetahuan  yang biasanya sering dipertanyakan dalam kuliah filsafat ilmu.


1.      Mengapa sebuah ilmu harus dikembangkan
Soetriono & Hanafi menyatakan bahwa “Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang obyek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode (method), dan sistem tertentu.” Ilmu pengetahuan diciptakan manusia atas dasar rasa ingin tahu yang tidak berkesudahan terhadap obyek, pikiran, dan akal budi yang menyangsikan kesaksian indra, karena indra dianggap sering menipu. Kesangsian tersebut yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang harus dicari jawabannya melalui ilmu pengetahuan. Adapun tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang masalah dan fenomena dalam alam semesta ini. Atas dasar rasa ingin tahu dan mencari penjelasan tentang masalah dan fenomena di alam semesta itulah yang menyebabkan manusia untuk mengembangkan ilmu.
      Menurut pendapat Keraf & Dua (2001: 151-153) ada dua macam kecenderungan dasar tujuan dikembangkannya ilmu, yaitu:
a.       Kecenderungan puritan-elitis
            Kecenderungan puritan-elitis beranggapan bahwa tujuan akhir dari ilmu pengetahuan adalah demi ilmu pengetahuan. Tetapi bagi kaum puritan-elitis, kebenaran ilmiah dari penjelasan ini hanya dipertahankan demi kebenaran murni begitu saja. Penjelasan atau kebenaran ilmiah ini terutama hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Maka, ilmu pengetahuan bagi mereka dikembangkan hanya demi ilmu pengetahun. Bagi mereka ilmu pengetahuan dikembangkan hanya bertujuan untuk mencapai penjelasan dan pemahaman tentang masalah-masalah dalam alam ini.
            Ilmu pengetahuan tidak boleh kalah dan mengalah terhadap pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dibebaskan dari tujuan kemanusiaan, kebahagiaan, dan keselamatan bagi manusia karena selama ilmu dikembangkan demi membantu manusia, demi memecahkan persoalan hidup manusia, kebenaran bisa dikalahkan oleh pertimbangan lain tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa bagi kaum puritan-elitis, ilmu pengetahuan dikembangkan demi ilmu pengetahuan saja.
b.      Kecenderungan Pragmatis
            Kecenderungan pragmatis beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai persoalan dalam alam semesta ini. Bagi mereka ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti untuk menemukan kebenaran tetapi ilmu pengetahuan itu pada akhirnya berguna bagi kehidupan manusia.
            Ilmu pengetahuan berguna bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya dan membantu manusia mengatasi berbagai kesulitan hidupnya. Sebagai contoh adalah kegunaan ilmu telekomunikasi, medis, ekonomi dan sebagainya telah membuat ilmu pengetahuan mempunyai daya tarik yang sedemikian besar. Oleh karena itu, manusia modern sedemikian bergairah mengembangkan terus ilmu pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup manusia, yang ditekankan adalah aspek utiliter dari ilmu pengetahuan dan  aspek kegunaan.

2.      Bagaimana ilmu pengetahuan dikembangkan?
Tidak dapat dipungkiri seiring berkembangnya zaman ilmu pengetahuan pun juga harus berkembang karena sifat ilmu itu terus berkembang dengan dinamis. Proses terjadinya pengetahuan menjadi masalah mendasar dalam efistemologi sebab hal ini akan mewarnai pemikiran kefilsafatannya.
Sudarsono (2008) menyatakan bahwa pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a porteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman bathin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.
Dalam mengetahui ilmu itu sendiri memerlukan alat yaitu: pengalaman indera (sense experience); nalar (reason); otoritas (authority); intuisi (intuition); wahyu (revelation); dan keyakinan (faith). Sepanjang sejarah kefilsafatan alat-alat untuk mengetahui tersebut memiliki peranan masing-masing baik secara sendiri-sendiri maupun berpasangan satu sama lain tergantung kepada filsuf atau paham yang dianutnya.
Soetriono & Hanafi (2007) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan diciptakan manusia karena dorongan dari rasa ingin tahu manusia yang tidak berkesudahan terhadap objek, pikiran, dan akal budi yang menyangsikan kesaksian indera, karena indera dianggap sering menipu.
Dari kesangsian inilah timbul berbagai pertanyaan yang menghasilkan jawaban-jawaban berupa:
1.      Ilmu pengetahuan filosofis yang mempersoalkan hakikat atau esensi sesuatu (pengetahuan universal).
2.      Ilmu pengetahuan kausalistik, artinya selalu mencari sebab-musabab keberadaannya (pengetahuan umum bagi suatu jenis benda).
3.      Ilmu pengetahuan yang bersifat deskriptif-analitik, yaitu mencoba menjelaskan sifat-sifat umum yang dimiliki oleh suatu jenis obyek.
4.      Ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, yaitu mencoba memahami norma suatu obyek yang dari sana akan tergambar tujuan dan manfaat dari obyek tersebut.
Manusia dalam mencari pengetahuan dan kebenaran, ada beberapa sumber. Menurut Sadulloh (2012) sumber tersebut sebagai berikut:
1.      Pengetahuan wahyu (revealed knowledge)
      Manusia memperoleh pengetahuan dan kebenaran atas dasar wahyu yang diberikan Tuhan kepada manusia. Tuhan telah memberikan pengetahuan dan kebenaran kepada manusia pilihannya, yang dapat dijadikan petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Wahyu merupakan firman Tuhan yang kebenarannya adalah mutlak abadi. Pengetahuan wahyu bersifat eksternal, artinya pengetahuan tersebut berasal dari luar manusia.

2.      Pengetahuan intuitif (intuitive knowledge)
      Pengetahuan intuitif diperoleh manusia dari dalam dirinya sendiri pada saat menghayati sesuatu yang muncul secara tiba-tiba di luar kesadaran manusia.
3.      Pengetahuan rasional (rational knowledge)
      Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan latihan rasio/ akal semata, tidak disertai dengan observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual. Menurut rasinalisme pengalaman tidak akan memberikan dasar bagi semua pengetahuan dan kepercayaan.
4.      Pengetahuan empiris (empirical knowledge)
      Pengetahuan empiris diperoleh atas bukti penginderaan, dengan penglihatan, pendengaran, dan sentuhan indera-indera lainnya, sehingga kita memiliki konsep dunia di sekitar kita. Empirisme beranggapan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, dengan jalan observasi atau penginderaan.
5.      Pengetahuan otoritas (authoritative knowledge)
      Kita menerima suatu pengetahuan itu benar bukan karena telah mengeceknya di luar diri kita, melainkan telah dijamin oleh otoritas di lapangan. Misalnya: kita menerima petuah agama dari seoran kiai, karena beliau merupakan orang yang sangat ahli dan menguasai sumber ajaran agama Islam tanpa harus kita mengecek dari sumber aslinya (Alquran dan Sunnah).
Selain penjelasan di atas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menurut Suriasumantri (1990) ada dua pilihan yang dapat ditempuh, yaitu meningkatkan pendidikan dalam berbagai disiplin keilmuan dan meningkatkan cara berpikir ilmiah.
Cara pertama merupakan upaya untuk menyesuaikan materi pendidikan keilmuan agar selaras dengan kemajuan bidang keilmuan itu sendiri. Alternatif lainnya adalah tidak hanya memusatkan kepada materi pengetahuan itu sendiri tetapi juga kepada proses berfikir yang menghasilkan pengetahuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Keraf, A.S., Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.

Sadulloh, U. (2012). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Soetriono, Hanafi, R.S. (2007). Filsafat dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: C.V. ANDI OFFSET.

Sudarsono. (2008). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Suriasumantri, J.S. (1990). Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik. Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

Komentar