Behaviorisme



A.    BATANG TUBUH BEHAVIORISME
1.      Definisi
Menurut Jamaris, Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan di dalam psikologi pendidikan yang didasari keyakinan bahwa anak dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang membentuknya. Perkembangan anak sangat ditentukan oleh faktor yang berada di luar diri anak, bukan dari faktor yang berasal dari dalam diri anak. Selanjutnya, semua tindakan pendidikan ditentukan secara sepihak, yaitu pendidik dan anak dianggap sebagai objek pendidikan.[1]
Menurut Santrock, Behaviorisme adalah pandangan bahwa perilaku harus dijelaskan oleh pengalaman-pengalaman yang dapat diamati, tidak dengan proses mental. Behaviorisme (ilmu perilaku) menekankan pada pengalaman, khususnya penguatan dan hukuman sebagai faktor yang menentukan pembelajaran dan perilaku.[2]
Menurut Pappalia, behaviorisme merupakan teori mekanistik yang menggambarkan perilaku yang diamati sebagai respons yang bisa diprediksi terhadap pengalaman. Walaupun biologi telah membentuk batasan mengenai apa yang bisa dilakukan individu, pandangan behaviorist memandang bahwa lingkungan juga sangat berpengaruh. Mereka percaya bahwa manusia disemua umur belajar mengenai dunia dengan cara sama yang dilakukan organisme lain: dengan bereaksi terhadap kondisi atau aspek dari lingkungan mereka yang mereka anggap menyenangkan, menyakitkan, atau mengancam. Penelitian perilaku berfokus pada belajar asosiatif ketika hubungan mental dibentuk dalam dua peristiwa.Dua jenis belajar asosiatif itu yaitu pengkondisian klasikal dan pengkondisian instrumental.[3]
Berdasarkan uraian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa behaviorisme merupakan salah satu pendekatan dalam psikologi yang berpandangan bahwa perilaku seseorang atau anak dapat dibentuk sesuai keinginan dengan pengkondisian lingkungan tertentu. Oleh karena itu, apakah anak akan menjadi pilot, menjadi dokter, ataukah akan menjadi sastrawan, hal tersebut sangat ditentukan oleh lingkungannya, yaitu orang-orang yang mendidik dan mengarahkan perkembangan anak sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Perkembangan anak sangat ditentukan oleh faktor yang berada di luar diri anak, dan bukan faktor yang berasal dari dalam diri anak. Semua tindakan pendidikan ditentukan secara sepihak, yaitu oleh pendidik dan anak dianggap sebagai objek pendidikan.
Definisi teori behaviorisme banyak dicetuskan oleh beberapa ahli, diantaranya:
a.       Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Psikolog Rusia ini adalah yang pertama kali meneliti perilaku makhluk hidup berdasarkan classical conditioning atau pengkondisian lingkungan secara klasik. Pavlov meneliti makhluk hidup dengan menggunakan anjing sebagai hewan yang ditelitinya. Respon terhadap stimulus, diperlihatkan oleh anjing melalui air liurnya, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1)      UCS (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral. Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2)      UCR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
3)      CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan UCS secara terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4)      CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Setelah percobaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka timbul kondisi sebagai berikut :
1)      Generalisasi, jika bel dibunyikan, air liur keluar, walaupun tidak ada daging yang diperlihatkan. Berarti telah terbentuk perilaku hasil hubungan antara stimulus dan respon.
2)      Diskriminasi, adalah kebalikan dari generalisasi yaitu apabila suara bel dengan nada berbeda dibunyikan dan tidak ada daging setelahnya, maka air liur anjing tidak keluar.
3)      Extinction atau penghilangan perilaku yang telah terbentuk. Jika stimulus yang diharapkan tidak ada maka perilaku yang diinginkan tidak akan terjadi lagi. Contohnya apabila daging terus menerus tidak ada walaupun bel dibunyikan maka air liur tidak akan keluar lagi.
Hasil penemuan Pavlov melalui classical conditioning merupakan temuan penting dalam sejarah perkembangan psikologi karena meletakkan dasar-dasar behavioural pshycology. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata ditemukan bahwa individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
b.      John B. Watson (1878-1958)
Teori Behaviorisme dimulai dari pekerjaan seorang psikolog John Watson (1878-1958).  Watson sendiri sangat terinspirasi  oleh penelitian Ivan Pavlov terhadap seekor anjing yang mengeluarkan air liur setiap kali diberi makanan.  Lalu ia membunyikan bel setiap kali memberi makanan dan anjing tersebut akan mengeluarkan air liur; dan akibatnya ketika Ivan Pavlov membunyikan bel, maka anjing tersebut mengeluarkan air liur sekalipun tidak diberi makanan.  Hal ini disebut sebagai classical conditioning. Dalam hal ini makanan dan bel sebagai stimulus dan mengeluarkan air liur sebagai respon[4].
Watson merupakan Bapak Behaviour Psychology yang menyebutkan bahwa perilaku adalah serangkaian fungsi dari hubungan-hubungan antara stimulus yang ada di dalam lingkungan dengan karakteristik manusia, seperti dorongan, hereditas, kebiasaan, emosi dan mekanisme yang digunakan sebagai stimulus, yang selanjutnya dikenal sebagai istilah “stimulus-response”. Stimulus berkaitan dengan situasi dan respon berkaitan dengan perilaku yang ditunjukkan dalam menghadapi situasi.
Watson tertarik terhadap penerapan classical conditioning pada manusia. Pada tahun 1921, ia melakukan penelitian pada bayi berusia 11 bulan bernama Albert. Tujuan penelitian tersebut adalah menjadikan Albert takut pada tikus putih. Caranya dengan memperlihatkan tikus putih yang sedang berjalan dan secara bersamaan dibunyikan suara yang keras (UCS). Pemunculan tikus dan suara yang keras tersebut (CS) menimbulkan rasa takut Albert pada tikus putih tersebut. Hasil eksperimen Watson menunjukkan bahwa classical conditioning juga dapat digunakan untuk menimbulkan phobia.[5]
Watson merupakan orang pertama yang mengaplikasikan temuan Pavlov kepada manusia, yang ditemukan bahwa adanya refleks yang terjadi terbentuk dari stimulus dan respon yang telah dikondisikan. Karena hal tersebut, maka ia menyebutkan bahwa manusia tidak ubahnya seperti mesin yang dapat diatur kegiatannya secara mekanistik.
c.       Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)
Thorndike menerapkan classical conditioning kedalam proses belajar khususnya yang berkaitan dengan pengaruh hubungan antara stimulus dan respons dalam pembentukan perilaku dan konsekuensi terhadap pembentukan perilaku yang diinginkan. Watson maupun Thorndike mengharapkan penelitian mereka dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan pembelajaran.
Thorndike menyebutkan bahwa asosiasi stimulus (S) dengan respon (R) yang tepat akan diperkuat dan yang tidak tepat akan melemah karena konsekuensi dari tindakan organisme.[6] Thorndike menggunakan kucing lapar yang dimasukkan dalam kandang yang didalamnya ada tombol untuk membuka pintu secara otomatis. Diluar kandang diletakkan makanan kucing. Kucing akan berusaha melompat-lompat untuk mengambil makanan tersebut dan tanpa sengaja menekan tombol untuk membuka pintu sehingga kucing dapat mengambil makanan yang berada diluar kandang.
Dalam percobaan ini dapat diketahui ada trial and error yaitu mencoba dan melakukan kesalahan dan secara tidak sengaja berhasil mengambil makanan tersebut. Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut:[7]
a)      Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon (R-S) akan menjadi lebih kuat bila mendapatkan penguatan yang positif (positive reinforcement). Jika hubungan tersebut mendapatkan penguatan negatif (negative reinforcement) maka hubungan tersebut akan lemah. Sebagai contoh adalah apabila seorang anak diminta mengerjakan sesuatu dan setelahnya orangtuanya akan memberikan permen, maka anak tersebut akan dengan senang hati mengerjakannya, dan akan berlaku sebaliknya jika tidak ada imbalan permen dari orangtuanya. Tetapi penguatan negatif tidak selalu melemahkan, karena bisa jadi ada yang menganggap sebagai sesuatu yang menyenangkan.
b)      Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Seperti dalam percobaan Thorndike terhadap kucing lapar yang ditempatkan kedalam kandang, semakin sering eksperimen tersebut diulang maka kucing akan semakin sedikit melompat-lompat dalam kandang untuk mencoba keluar, melainkan kucing tersebut akan langsung menginjak tombolnya sehingga ia dapat keluar dan memakan makanan yang disediakan diluar kandang.
c)      Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu berkaitan dengan kematangan dan kesiapan seseorang untuk memperoleh perubahan perilaku yang diinginkan. Sebagai contoh apabila anak yang belum menunjukkan minat membaca dipaksakan untuk dapat belajar membaca, maka hal tersebut akan sulit dilakukan, dan sebaliknya jika anak sudah siap belajar membaca maka anak akan belajar dengan mudah dan lingkungan sekitar membantunya untuk dapat belajar yaitu dengan penataan sarana dan prasarana yang mendukung proses belajar membaca.
d.      Edwin Guthrie (1886-1959)
Teori Contiguity dari Edwin R. Guthrie (1886-1959)[8] dikenal juga dengan nama teori Contiguous Conditioning. Teori ini berangkat dari dua teori dasar dalam aliran perilaku, yaitu teori Thorndike dan teori Pavlov, namun juga sangat dipengaruhi oleh teori Watson.  Bagi Guthrie, proses stimulus justru menjadi titik fokus utama dalam teorinya. Guthrie relatif tidak menerima dalil sebab akibat sebagaimana pandangan Thorndike. Hal-hal tersebut yang menjadi perbedaan utama antara teori Thorndike dan teori Guthrie.
Dalil Guthrie yang pertama tentang proses belajar adalah kombinasi stimulus yang diikuti dengan suatu gerakan, pada saat pengulangan berikutnya cenderung diikuti lagi oleh gerakan tersebut. Dalil yang kedua menyatakan bahwa pola stimulus mempunyai korelasi dan atau keterkaitan yang tinggi dengan respons yang ditimbulkannya pertama kali. Dalil-dalil tersebut menjadi landasan bagi prinsip kemutakhiran (recency principle), yang menyatakan bahwa jika belajar terjadi dalam suatu proses coba-coba maka proses yang terakhir terjadi yang akan muncul (terulang) lagi seandainya kombinasi stimulus yang sama dihadirkan kembali.
Berdasarkan teori Contiguity dari Guthrie, setiap individu mempunyai kapasitas belajar yang berbeda. Dari hasil penelitiannya terhadap sejumlah binatang, Guthrie menyatakan bahwa tidak semua binatang mempunyai tingkat sensitivitas yang sama terhadap satu stimulus, dan tidak semua binatang memiliki indra yang sama untuk menerima informasi. Latihan akan mengakomodasikan ataupun menghilangkan respons-respons tertentu sehingga atas kombinasi stimulus yang muncul dapat dihasilkan suatu respons yang menyeluruh sebagaimana yang diharapkan, yang dapat disebut sebagai suatu kinerja yang berhasil. Keterampilan mewakili sejumlah kebiasaan, oleh karena itu belajar dapat dicapai sebagai akumulasi dari pengulangan-pengulangan.
Motivasi juga dapat mempengaruhi belajar secara tidak langsung, yang terlihat melalui penyebab atau alasan individu melakukan sesuatu (merespons). Reward atau penghargaan/pujian menurut Guthrie merupakan prinsip yang sekunder. Penghargaan dapat berhasil dengan baik jika memang tidak dihadapkan pada situasi lain selain yang akan menghasilkan respons yang benar. Penghargaan juga tidak memberi penguatan terhadap respons yang benar, tetapi diakui bahwa penghargaan menghindari terjadinya pengurangan respons yang benar. Sama dengan penguatan, hukuman juga berpengaruh terhadap belajar, dan sangat ditentukan oleh alasan individu melakukan sesuatu. Secara umum, Guthrie percaya bahwa alat prediksi yang paling baik terhadap belajar adalah respons yang muncul terhadap stimulus dalam suatu proses yang terakhir terjadi. Oleh karena itu proses belajar dapat dijelaskan melalui reaksi terkondisi yang akan muncul berdasarkan pengalaman masa lalu, dan sesuai dengan prinsip asosiasi.
Proses belajar dapat terjadi dalam situasi yang baru karena adanya kesamaan elemen atau komponen antara situasi/stimulus yang lama dengan situasi/stimulus yang baru. Penekanan Guthrie terhadap konsep yang dikenal dengan nama "movement-produced stimuli" atau stimulus yang menghasilkan gerakan terkondisi merupakan modifikasi dari teori Thorndike. Namun demikian, menurut Guthrie, hasil belajar yang diperoleh dipercaya bersifat permanen, sampai terjadi proses belajar yang baru.
Dalam hal ini, lupa dapat terjadi karena respons yang muncul dalam proses belajar yang baru menggantikan hasil belajar yang sebelumnya. Proses lupa ini terjadi secara bertahap, sama seperti hasil belajar juga diperoleh secara bertahap melalui serangkaian proses belajar yang berulang. Teori Guthrie ini lebih merupakan teori klasik yang tidak berkembang. Walaupun demikian, harus diakui bahwa teori Guthrie memiliki kemampuan untuk menjelaskan beragam fenomena belajar secara luas.
Dengan demikian, azas belajar Guthrie yang utama adalah gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
e.       Burrhus Frederic Skinner (1904 – 1990)
Skinner adalah seorang ahli behaviour psychology dengan teorinya yang terkenal yaitu operant conditioning. Teori ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa makhluk hidup yaitu manusia dan hewan selalu berada dalam proses “operating” (melakukan sesuatu) terhadap lingkungannya.  Makhluk hidup selalu menemukan stimulus pendorong atau reinforcing stimulus yang dapat meningkatkan perilaku yang terjadi beberapa saat setelah stimulus tampil (operant). Operant conditioning berkaitan dengan perilaku yang diikuti oleh konsekuensi yang timbul dari perilaku yang ditampilkan. Konsekuensi akan memodifikasi perilaku makhluk hidup pada masa yang akan datang.[9]
Dalam eksperimennya, Skinner menggunakan tikus yang dikurung dalam kotak yang disebut skinner box. Kotak dilengkapi tombol yang akan menyebabkan makanan berjatuhan jika tombol tersebut ditekan. Pada saat tikus menekan tombol dan makanan berjatuhan maka tikus akan mengulangi lagi perilaku tersebut dan apabila tidak ada makanan yang terjatuh pada saat tikus menekan tombol, maka lama kelamaan tikus tidak akan lagi menekan tombol tersebut. Akan tetapi jika dalam waktu yang relatif lama hal tersebut dikondisikan kembali maka tikus akan dengan cepat mengulangi perilakunya tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa reinforcing stimulus dapat memperkuat dan meningkatkan perilaku makhluk hidup dimasa yang akan datang. Ada dua reinforcing stimulus, yaitu : positive reinforcers yang merupakan kejadian yang diinginkan setelah perilaku ditampilkan dan negative reinforcers yang berkaitan dengan menghilangkan peristiwa yang tidak diinginkan setelah perilaku ditampilkan.
Skinner juga memberlakukan hukuman atau punishment yang bertujuan untuk menghilangkan perilaku yang ditampilkan. Punishment dibagi dua yaitu positive punishment dan negative punishment. Generalisasi dalam pengkondisian operant berarti memberikan respon yang sama terhadap stimulasi yang sama. Yang menarik adalah sejauh mana perilaku digeneralisir dari situasi satu ke situasi lainnya. Misalnya jika pemberian hadiah dapat membuat seorang anak mendapatkan nilai bagus pada pelajaran matematika, maka akankah pemberian hadiah yang sama dapat membuat anak akan mendapatkan nilai yang bagus juga pada saat pelajaran bahasa inggris?

2.      Konsep Utama
a.      Falsafah Behaviorisme
Falsafah Behaviorisme yang biasa juga disebut S-R stimulus–respons mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement.[10] Kelompok teori ini berasumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/ membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan, apakah lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, dan diamati.
1)        Teori S-R Bond (Stimulus-Response) bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-response atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan respons memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak-banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L.Thorndike ada tiga hukum belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu law of readness, law of exercise or repetition dan law of effect. Menurut hukum kesiapan, hubungan dengan stimulus dan respon akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada system syaraf individu. Selanjutnya, hukum latihan atau pengulangan, hubungan dengan stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Menurut hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.
2)        Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus response with conditioning. Tokoh utama teori ini Watson dan Pavlov, terkenal dengan percobaan conditioning pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan dengan stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak-anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda memulai pelajaran di sekolah. Demikian juga dengan waktu makan pagi, siang, dan makan malam dikondisikan oleh bunyi jam atau jarum jam.
3)        Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditioning. Kalau pada teori conditioning kondisi diberikan pada stimulus maka pada reinforcement kondisi diberikan pada respon karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain ia menguasai apa yang dipelajarinya (response) maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka tinggi, pujian, dan hadiah merupakan reinforcement, supaya pada kegiatan belajarnya akan lebih giat dan sungguh-sungguh.
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali contoh reinforcement kita temukan seperti pemberian pujian, hadiah, bonus, insentif, piala, mendali, piagam penghargaan, kalpataru, adipura, lencana sampai dengan parasamya, dan bintang mahaputra. Disamping reinforcement positif seperti itu dikenal pula reinforcement negatif untuk mencegah atau menghilangkan suatu perbuatan yang kurang baik atau tidak disetujui masyarakat. Contoh reinforcement negatif adalah: peringatan, ancaman, teguran, sanksi, hukuman, pemotongan gaji, penundaan kenaikan pangkat, dsb.
Latar belajar teori behavioristis bersumber pada pandangan John Locke mengenai jiwa anak yang baru lahir, ialah jiwanya dalam keadaan kosong.Seperti meja lilin bersih, disebut tabularasa. Dengan demikian pengaruh dari luar sangat menentukan perkembangan jiwa anak, dan pengaruh luar itu dapat dimanipulasi (direatmen secara leluasa). Dari pandangan manusia menurut John locke tersebut, pendekatan belajar menjadi behavioristic elementaristic, atau pendekatan belajar behavioristic emperistic. Di samping itu ada pandangan manusia lain, ialah fenomena, jadi fenomologis, sehingga pendekatan belajar bercorak kognitif-totalistis, dasar psikologisnya adalah psikologi Gestalt.
Pendekatan behavioristic-elementaristic menganggap jiwa manusia itu pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus atau perangsang-perangsang dari luar yang ada di lingkungan sekitar. Oleh karena itu tingkah laku manusia dapat dimanipulasi, dapat dikontrol atau dikendalikan. Cara mengendalikan tingkah laku manusia mengontrol perangsang-perangsang yang ada dalam lingkungannya. Tingkah laku manusia mempunyai hukum-hukum seperti yang berlaku dalam hukum-hukum pada gelaja alam, umpannya hukum sebab akibat. Metode-metode kealaman dapat dipakai dalam tingkah laku manusia dengan sifat hubungan mekanistis.
Dari pendekatan Behaviorisme tersebut di atas diajukan rumus matematis = FL`tingkah laku itu adalah TLk, yakni bahwa tingkah laku itu merupakan fungsi lingkungan. Jika lingkungan berubah tingkah lakunya akan berubah juga. Jika kita menginginkan tingkah laku tertentu, kita ubah lingkungan sedemikian rupa sehingga dapat membentuk tingkah laku yang diinginkan. Jika tingkah laku kita beri symbol R dan lingkungan S, maka R = fS dimana R = respon; S =stimulus
b.      Ciri-ciri Teori Belajar Behaviorisme
Untuk mempermudah mengenal teori belajar Behaviorisme dapat dipergunakan ciri-cirinya yakni:
1)      mementingkan pengaruh lingkungan (environmentalistis)
2)      mementingkan bagian-bagian (elementaristis)
3)      mementingkan peranan reaksi (respon)
4)      mementingkan mekanisme terbentuknya hasil belajar
5)      mementingkan hubungan sebab akibat pada waktu yang lalu
6)      mementingkan pembentukan kebiasaan.
7)      ciri khusus dalam pemecahan masalah dengan “mencoba dan gagal’ atau trial and error.
Teori hubungan S-R tanpa persyaratan (without reinforcement) termasuk dalam teori belajar Behaviorisme.Tokoh Watson dan Guthrie dipandang sebagai pengajar teori belajar hubungan S-R tanpa persyaratan, yang disebut juga teori kontiguitas.Dalam teori ini tidak memperhitungkan pengaruh variable yang menyenangkan.Menurut teori kontiguitas, faktor terbentuknya hubungan S-R cukup keadaan kontinue saja. Bilamana suatu S kontinue (dibuat ada bersama) dengan tingkah laku tertentu R. akan terbentuklah hubungan dalam urat syaraf. Teori belajar kontiguitas dapat dikatakan paling sederhana, sebab tidak memperhatikan efek dalam belajar.
J. B. Watson (1878-1958) mengadakan perubahan besar dalam teori dan praktek psikologi menurut pandangannya. Dengan pengalaman eksperimen dalam maze (kotak eksperimen) dia menolak metode instrospeksi sebab tidak dapat dibuktikan. Watson mengadakan percobaan-percobaan belajar dengan hewan dan manusia. Sarjana ini percaya, bahwa tingkah laku dapat diterangkan dengan terminology hubungan S-R dalam syaraf otak dalam karyanya: Psicology as the Behavioristist Views lt. (1913).
Belajar menurut Watson adalah jika S dan R ada bersamaan dan kontigu, maka hubungannya akan diperkuat. Kekuatan hubungan S-R tergantung kepada frekuensi ulangan adanya S-R.Watson mementingkan hukum ulangan atau hukum latihan dalam belajar.Watson tidak menganggap penting Hukum efek Thorndike.Watson menolak hukum efek dari Thorndike, sebab dianggap dasarnya mentalistik dan berdasar prinsip kenikmatan.
Hukum kedua yang dipertentangkan oleh Watson adalah The Law of Recency (hukum kebaruan). Artinya respon yang baru akan diperkuat dengan ulangan hadirnya dari pada respon yang lebih awal. Dasar kegiatan belajar adalah dengan conditioning.Belajar adalah memindahkan respon lama terhadap stimuli baru. Sumbangan Watson dalam perkembangan psikologi pendidikan antara lain, ialah:
1)      Mempunyai pengaruh besar dalam psikologi di USA.
2)      Mempopulerkan ajaran behaviorisme.
3)      Adanya tingkah laku, mesti ada hubungan syaraf di otak.
4)      Untuk menjelaskan belajar perlu mengerti fungsi otak.
5)      Menggerakkan studi dan tingkah laku secara obyektif.
6)      Mempertimbangkan faktor lingkungan .
7)      Belajar adalah proses membentuk hubungan S-R.
8)      Banyak mendorong penelitian-penelitian eksperimen dengan conditoning di USA.
Tokoh kedua adalah E.R Guthrie (186-1959) yang mengembangkan teori belajar kontiguitas S-R di Universitas Washington. Menurut Guthrie, bahwa prinsip kontiguitas adalah kombinasi stimuli yang telah menghasilkan respon diteruskan sehingga stimulus yang dikontigukan tetap menghasilkan respon tadi. Guthrie menolak hukum ulangan yang dianut Watson.
Di dalam teori belajarnya, Guthrie berpendapat, bahwa organisme otot-otot dan pengeluaran getah kelenjar-kelenjar.Respon semacam itu disebut gerakan-gerakan.Guthrie mengatakan, suatu tindakan terdiri atas serentetan gerakan-gerakan yang diasosiasikan bersama dengan hukum kontiguitas.Guthrie menolak teori Thorndike yang mengatakan bahwa dasar respon adalah tindakan-tindakan dan bukan gerakan-gerakan.
Dalam proses-belajar, yang diasosiasikan adalah suatu stimulus dengan respon R, tepatnya adalah stimulus yang mengenai organ tubuh dan syarafnya (sebagai sensasi) dan kemudian menimbulkan respon tersebut.Eksperimen yang diadakan oleh Guthrie di Horton (1946) dengan kucing dalam sangkar. Guthrie mengajukan prinsip-prinsip belajar, yakni :
1)   Yang terpenting adalah prinsip pengkondisian (conditioning).
2)   Prinsip pengendalian persyaratan yakni respon akan dikendalikan jika respon lain timbul dengan adanya S-R asli.
3)   Adanya persyaratan yang ditunda.
4)   Pengembangan (perbaikan) performance atau tindakan merupakan hasil praktek. Proses conditioning akan terjadi setelah percobaan pertama. Penguatan hubungan S-R adalah hasil dari ulangan (praktek) dan bukan karena peningkatan Stimulus.
Memang teori belajar Guthrie dipandang lebih sederhana sebab ditekankan kepada adanya stimulus dan respon yang nampak dan belum atau tidak memperhitungkan kegagalan dan hadiah (reinforcement). Dengan begitu terori tersebut tidak mendorong untuk mengadakan penelitian-penelitian menurut model Guthrie. Selain itu Guthrie tidak mengembangkan motivasi belajar, sebab stimulus sendiri sudah berarti motif. Menurut teori kontiguitas, bahwa lupa dapat terjadi karena kegiatan hubungan S-R dipakai hal lainnya.Jadi lupa timbul karena ada interferensi atau gangguan pembentukan hubungan S-R dalam syaraf. Guthrie juga menganjurkan terjadinya transfer pengetahuan dari satu hal ke hal lain dengan latihan pada bidang khusus atau praktek pada bidang yang lebih luas.
c.       Prinsip Pembelajaran Behaviorisme
Terdapat beberapa prinsip pembelajaran perilaku, yaitu: peran konsekuensi, penguatan (reinforcer), penghukuman (punisher), kesegeraan konsekuensi (immediacy of consequence), pembentukan (shaping), kepunahan (extinction), jadwal penguatan, ketahanan, dan peran anteseden.[11]
1)     Peran konsekuensi
Konsekuensi yang menyenangkan (penguatan/ reinforcer) meningkatkan frekuensi seseorang terlibat ke dalam perilaku, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan (penghukuman/ punisher) mengurangi frekuensi suatu perilaku.[12]
2)     Penguatan
a)     Penguatan primer dan sekunder; penguatan primer memuaskan kebutuhan dasar manusia, seperti: makanan, air, keamanan. Penguatan sekunder terbagi menjadi 3 kategori yaitu penguatan sosial seperti pujian, senyuman, pelukan, perhatian. penguatan kegiatan seperti akses ke mainan, permainan, atau kegiatan yang menyenangkan, dan penguatan pertanda seperti uang, nilai sekolah, tanda bintang maupun poin yang dapat ditukar oleh seseorang dengan penguatan lain.
b)     Penguatan positif dan negative. Penguatan positif meliputi imbalan, pujian, nilai dan tanda bintang. Penguatan negatif meliputi pembebasan dari tugas atau situasi yang tidak menyenangkan.[13]
3)     Penghukuman
Merupakan konsekuensi yang tidak menyenangkan yang digunakan untuk melemahkan perilaku. Hukuman memiliki dua bentuk utama, yaitu hukuman pemberlakuan yang berupa penggunaan konsekuensi yang tidak menyenangkan seperti omelan, dan hukuman pencabutan yang merupakan penarikan kembali konsekuensi yang menyenangkan, yang meliputi pencabutan hak istimewa, keharusan tinggal di kelas selama istirahat, ataupun keharusan tinggal di kelas ketika pulang sekolah.[14]
4)     Kesegeraan konsekuensi
Kesegeraan kosekuensi berperan penting bagi pembelajaran. Khususnya bagi siswa yang lebih muda, pujian atas pekerjaan yang diselesaikan dengan baik yang segera diberikan dapat menjadi penguatan yang lebih berbobot dari pada nilai yang baik yang diberikan jauh kemudian hari. Mendekati siswa yang berperilaku tidak pantas, menyentuh bahunya, atau memberikan isyarat seperti jari pada bibir untuk meminta diam akan jauh lebih efektif dari pada omelan atau peringatan yang diberikan pada akhir pembelajaran.
5)     Pembentukan
Merupakan sarana penting dalam pengajaran di ruang kelas. Kebanyakan siswa membutuhkan penguatan setiap saat. Pembentukan digunakan guru untuk menuntun siswa menuju sasaran dengan memperkuat sekian banyak tahap menuju keberhasilan. Sebagai contoh: dalam mengajari anak-anak mengikat tali sepatu mereka, kita tidak hanya memperlihatkan kepada mereka bagaimana hal itu dilakukan dan kemudian menunggu untuk memperkuat mereka hingga mereka mengerjakan sendiri seluruh tugas itu. Sebaliknya, kita pertama-tama akan memperkuat mereka mencoba ikatan pertama, kemudian membuat simpul, dan seterusnya, hingga mereka dapat mengerjakan seluruh tugas tersebut. Dengan cara ini kita akan membentuk perilaku anak-anak dengan memperkuat semua tahap kearah tujuan akhir.[15]
6)     Kepunahan
Penguatan memperkuat perilaku. Tetapi, jika penguatan ditarik kembali, akhirnya perilaku tersebut akan dilemahkan, dan akhirnya akan lenyap. Proses inilah yang disebut kepunahan perilaku. Kepunahan merupakan peniadaan perilaku yang dipelajari ketika penguatan ditarik kembali. Karakteristik ledakan kepunahan, yaitu naiknya tingkat perilaku pada tahap-tahap awal kepunahan, mempunyai konsekuensi penting bagi pengelolaan kelas. Misalnya: bayangkanlah guru telah memutuskan untuk melenyapkan kebiasaan seorang anak meneriakkan jawaban dengan tidak pantas (bukannya mengangkat tangannya untuk dikenali) dengan tidak mengacuhkannya hingga ia mengangkap tangannya tanpa suara.
Pada awalnya, ketidakacuhan terhadap anak itu mungkin anak meningkatkan perilaku teriakannya, ledakan kepunahan klasik. Anda kemudian mungkin dengan kelirun menyimpulkan bahwa ketidakacuhan tidak berhasil, padahal dalam kenyataannya ketidak acuhan terus menerus terhadap teriakan yang tidak pantas merupakan strategi yang tepat jika kita mempertahankannya.[16]


d.      Penerapan Behaviorisme dalam Pendidikan dan Pembelajaran
1)      Modifikasi Perilaku (Behavior Modification/ b-mod)
Dilakukan dengan cara mengatur penerapan reinforcement untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Metode ini telah digunakan dalam mengatasi berbagai masalah psikologi, seperti masalah ketergantungan pada obat, neuroses, pemalu, autism, bahkan schizophrenia atau perilaku yang kurang tepat yang diperlihatkan anak ke dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab itu, modifikasi perilaku lebih efektif digunakan untuk anak-anak.
Modifikasi perilaku dilakukan berdasarkan perencanaan yang dikembangkan secara sistematis dan terdiri atas beberapa langkah sebagai berikut.
a)      Menetapkan tujuan perubahan perilaku
b)      Menetapkan reinforcement yang sesuai
c)      Menetapkan prosedur perubahan perilaku
d)     Melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan dan mencatat hasil penerapan prosedur
e)      Melakukan evaluasi dan revisi
Melalui pencatatan terhadap perubahan perilaku maka dapat dilakukan evaluasi, apakah perilaku yang diinginkan telah tercapai atau belum sehingga perlu dilakukan lagi beberapa revisi dalam prosedur hingga perilaku yang diharapkan tercapai. Modifikasi perilaku perlu dilakukan oleh para pendidik dalam mengatur ketertiban kelas dalam suatu proses pembelajaran.[17]

2)        Pembelajaran berbasis Behaviorisme
Behaviorisme tidak hanya diterapkan di dalam psikologi yang dikenal dengan behavioral psychology, akan tetapi juga diterapkan di dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Penerapan teori behaviorisme dalam pembelajaran dimulai dengan melakukan analisis kebutuhan siswa, kemudian dilanjutkan dengan menetapkan tujuan pendidikan atau pembelajaran. Penerapan behaviorisme dalam dunia pendidikan dapat tercermin dari perumusan tujuan pembelajaran, pembelajaran terprogram, pembelajaran individual, pembelajaran dengan bantuan komputer, dan pendekatan sistem.
Tujuan pembelajaran menurut behaviorisme yaitu behavioral learning overcome, yang dinyatakan secara spesifik sebagai berikut:
a)        A – Audience, adalah siswa
b)        B – behavior, adalah perilaku /kompetensi yang perlu ditampilkan setelah proses belajar dilakukan, seperti “ menjawab dengan benar”
c)        C – Condition, adalah penyelesaian unit pelajaran yang dievaluasi di akhir proses pembelajaran
d)       D – Degree, adalah pencapaian hasil belajar, misalnya 90%.
3)        Pembelajaran Berdasarkan Sistem
Mencakup penetapan tujuan umum dan tujuan khusus, diikuti dengan kegiatan menganalisis sumber daya yang diperlukan, merencanakan kegiatan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran yang dilakukan secara berkesinambungan dan hasil evaluasi dijadikan dasar untuk melakukan perubahan yang diperlukan.
4)        Pembelajaran Terprogram
Merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang diprogram secara khusus dengan tujuan agar peserta didik dapat membelajarkan dirinya sendiri. Adapun prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran terprogram yaitu:
a)      Menetapkan tujuan pembelajaran yang harus dikuasai peserta didik setelah proses pembelajaran dilaksanakan.
b)      Merumuskan kompetensi yang perlu dikuasai peserta didik dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
c)      Memecah kompetensi yang perlu dikuasai menjadi kompetensi-kompetensi terbatas dan spesifik.
d)     Mengembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan pencapaian tujuan yang akan dicapai.
e)      Memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan tingkat kemampuannya.
f)       Memberikan umpan balik secepatnya agar peserta didik mengetahui apakah respons yang diberikannya adalah benar atau salah.[18]

B.     APLIKASI DALAM PENDIDIKAN DI PAUD
Aplikasi teori Behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran dan pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia di dalam kelas serta evaluasi pembelajaran.[19] 
1.        Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran menurut teori Behaviorisme ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.
2.        Materi pelajaran dan pembelajaran
Menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori Behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.[20]
Proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa.
3.     Asessmen
Asessmen pada siswa menekankan pada hasil belajar.
Asessmen menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Asessmen hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Asessmen belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan asesssmen pada kemampuan siswa secara individual. Dalam proses asessmen belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses asessmen.
Berbagai perilaku dapat digunakan ketika menerapkan teori-teori behavior di dalam kelas. Saran ini  memiliki arti untuk mengajarkan perilaku dan situasi pembelajaran.[21]
a.         Dalam teori behavior  bahwa perilaku adalah hasil dari kondisi tertentu,  maka untuk mencapai perilaku yang diinginkan adalah dengan mengubah kondisi tersebut.
b.        Menggunakan penguatan dan hadiah untuk memperkuat perilaku yang ingin dicapai
c.         Menggunakan extinction atau pengurangan stimulus secara terus menerus untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan
d.        Mengurangi perilaku yang tidak dinginkan dengan cara sebagai berikut:
1)   Tanpa penguatan atau pengabaian perilaku
2)   Memberikan imbalan jika mengikuti perilaku yang diinginkan
3)   Mengambil hak istimewa atau resor untuk hukuman
e.         Ketika siswa belajar materi faktual, diberikan umpan balik yang sering, untuk materi yang kompleks atau abstrak diberikan umpan balik yang ditunda
f.         Memberikan latihan, drill dan peninjauan kembali, untuk melihat kemajuan peserta didik
g.        Mempertimbangkan buku kerja, materi yang diprogram, dan program dapat tertuang dalam komputer yang mengandalkan serangkaian pendekatan.
h.        Ketika siswa berusaha memahamiatau tertarik dengan materi yang tidak menarik, maka guru harus memberikan penguatan lebih dan penghargaan untuk memotivasi mereka.
1)      Berikan variasi penghargaan yang membuat murid nyaman      
2)      (permen batang, permen karet, kartu karakter, dan lain-lain).
3)      Menyusun sebuah perjanjian untuk menunjukkan kinerja demi  
      mendapat hadiah khusus
4)      Selalu berikan penguatan, dan berikan penghargaan tersebut
      kepada murid secara langsung
i.        Gunakan observasi pembelajaran
1)      Pilihlah model yang paling tepat.
2)      Model perilaku yang diterapkan harus jelas dan akurat.
3)      Setiap siswa harus mengikuti setiap model pembelajaran yang  
       diberikan.
4)      Memberikan pujian ketika siswa mampu memperlihatkan perilaku  
      yang sesuai atau yang dingiinkan dalam pembelajaran tersebut.
5)      Siswa/ murid mempraktikkan perilaku yang dapat diobservasi/ 
      diamati.
6)      Memberikan umpan balik atau mengoreksi jika ada kesalahan  
      selama pembelajaran berlangsung.
7)      Ulangi demonstrasi atau ulangi contoh perilaku kepada murid bila
      diperlukan.
8)      Memberikan penguatan terhadap perilaku yang diinginkan.
9)      Model perilaku dalam setting yang serupa di mana para
 pembelajar/murid akan menggunakan keterampilan baru.
j.        Penilaian perubahan perilaku  pada pembelajaran
1)      Melakukan diagnosa terhadap masalah yang muncul dalam   
      pembelajaran.
2)      Tingkatkan level kompetensi pembelajaran.
3)      Berikan feedback atau umpan balik.
4)      Mengintegrasikan atau mengaitkan tugas-tugas lama atau
      keterampilan lama dengan tugas-tugas atau keterampilan yang  
      baru.
5)      Ulangi pengajaran perilaku bila diperlukan. 


[1]Martini Jamaris.Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. (Bandung: Ghalia Indonesia. 2013). h. 114
[2] John. W. Santrock. Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Salemba Humanika. 2012). h. 301
[3] Diane E. Papalia. Menyelami Perkembangan Manusia. (Jakarta: Salemba Humanika. 2014). h. 33
[4]Laura E. Berk, Infants Children and Adolescents (United States: Allyn and Bacon 1999), h. 18.
[5]MartiniJamaris,Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2013),h. 117
[6] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan Edisi Kedua (Jakarta: Kencana, 2008), h. 272
[7]  Martini Jamaris, op. cit. h. 117
[9]  Ibid., h. 118
[10] Muhammad Rohman. Kurikulum Berkarakter  (Jakarta:Prestasi Pustaka. 2012), h.56
[11]Robert E. Slavin. Op.cit. h. 181
[12] Ibid., h. 182
[13] Ibid., h. 183
[14] Ibid., h.187
[15] Ibid., h.190
[16] Ibid., 192
[17]Martini Jamaris. Op. cit. h. 121
[18]Martini jamaris. Op.cit. h. 124
[20] Randy Harland, op. cit. h.  43.
[21]Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins, Curriculum Foundations, Principles, and Issues  (United States of Amerika: Pearson Education, Inc, 2004), h. 105

Komentar