A. Golden
Age
dalam Perspektif Perkembangan
Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) merupakan masa yang sangat penting dalam perkembangan
otak. Disini anak berkembang sangat pesat pada anak usia dini (0-8 tahun) sebesar
80%, yaitu ketika anak berusia 4 tahun kapabilitas kecerdasan orang dewasa
sebesar 50%, ketika usia anak mencapai 8 tahun akan terjadi perkembangan
jaringan otak yang sangat pesat sebesar 80% dan mencapai puncaknya ketika usia
anak 18 tahun. Menurut Slamet (2005: 5) “Anak usia dini berada pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan baik fisik
maupun mental yang sangat pesat.” Anak usia dini sangat sensitif terhadap apa
yang terjadi di lingkungannya. Maka dari itu anak usia dini sering disebut
dengan masa keemasan atau (golden age). Adapun
beberapa perspektif perkembangan anak usia dini dalam masa keemasan (golden age).
1.
Kognitif
Perkembangan
kognitif ini sangat pesat terjadi saat mereka berusia 0-8 tahun, hal ini karena
otak berada dalam perkembangan yang pesat-pesatnya. Apa yang dilihat, didengar,
dan dipelajari oleh anak akan mudah diserap dan diingatnya.
Kognitif adalah proses yang terjadi
secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir
(Gagne dalam Jamaris, 2006). Piaget
menyatakan kognisi (kognitif) sebagai proses dimana anak secara aktif membangun
system pengertian dan pemahaman tentang realitas melalui pengalaman dan
interaksi mereka. Vygotsky (2007:264) berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan
konsep-konsep yang lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari
percakapan dengan sesorang yang dianggap lebih ahli dalam hal tertentu.
Perkembangan kognitif memiliki
banyak pengertian. Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang atau siswa
adalah suatu proses yang bersifat genetik. Artinya proses belajar itu di
dasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syarat. Oleh sebab itu
makin bertambahnya umur seorang siswa, mengakibatkan kompleksnya susunan
sel-sel syaraf dan juga makin meningkatkan kemampuannya khususnya dalam bidang
kualitas intelektual (kognitif).
Selain Piaget, perkembangan kognitif
juga dicetuskan oleh Vygotsky. Vigotsky setuju dengan Piaget bahwa perkembangan
kognitif terjadi secara bertahap dan
dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky tidak setuju
dengan pandangan Piaget bahwa anak
menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambaran realitas batinnya
sendiri. Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak- anak
lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir
dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar
dan memusatkan perhatian.
Piaget (Slavin, 2011:45) membagi perkembangan
kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dan semakin canggih
seiring pertambahan usia:
1. Periode I (Sensoris Motorik) (dari
lahir – 2 tahun)
Bayi mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka
seperti menghisap, menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul
dihadapannya. Tahapan ini berlangsung dari kelahiran sampai usia 2 tahun. Bayi
membentuk pemahaman tentang dunianya dengan mengkoordinasikan pengalaman
sensori, yaitu penglihatan dan pendengaran dengan tindakan fisik motorik, oleh
sebab itu disebut sensorimotor.
2. Periode II (Pra Operasional
Konkret) (2-7 tahun)
Anak-anak
belajar berpikir menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah, namun
pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. Pikiran di titik ini
sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa. Pada periode II yaitu pra
operasional, pikiran anak berkembang cepat ke sebuah tatanan baru yaitu
simbol-simbol (termasuk citraan dan kata-kata) (Piaget, 1964:22).
3. Periode III (Operasional Konkret)
(7-11 tahun)
Anak-anak
mengembangkan kemampuan berpikir sistematis, namun hanya ketika mereka dapat
mengacu kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret. Tahapan ini adalah
tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai dua belas
tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses
penting selama tahapan operasional konkrit adalah:
· Pengurutan,
kemampuan untuk mengurutkan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya.
Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari
benda yang paling besar ke yang paling kecil.
· Klasifikasi
kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut
tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa
serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian
tersebut.
· Decentering,
anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya.
Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih
sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
· Reversibility,
anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian
kembali ke keadaan awal.
· Konservasi,
memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak
berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda
tersebut.
· Penghilangan
sifat Egosentrisme, kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang
lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).
4. Periode IV (Operasional Formal) (11
tahun- dewasa)
Orang
mudah mengembangkan kemampuan untuk berpikir sistematis menurut rancangan yang
murni abstrak dan hipotetis (William Crain, 2007:171). Tahap operasional formal
adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini
mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut
sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk
berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari
informasi yang tersedia.
Dua
prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1) mengenai fungsi
dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan
terhadap tanda (sign) sampai kepada
tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki
peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan,
pengertian dan kompetensi.
Karya
Vygotsky didasarkan pada tiga ide utama: (1) bahwa intelektual berkembang pada
saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut
dengan apa yang mereka telah ketahui; (2) bahwa interaksi dengan orang lain
memperkaya perkembangan intelektual; (3)
peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.
Tingkatan
pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti
memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran
dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar saat dia sudah mampu
mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang
memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa
mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai keberhasilan.
Dorongan
guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi
menjadi optimum. Vygotsky sangat tertarik pada efek interaksi siswa dengan
teman sekelas pada pelajaran. Vygotsky mencatat bahwa interaksi individu dengan
orang lain berlangsung pada situasi sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang
dipelajari berpengaruh pada proses belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap
disiplin ilmu mempunyai metode pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang
guru yang tertarik untuk mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi
siswa. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat
pembelajaran sosiakultural.
Inti
teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal
dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan social pembelajaran.
Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif
manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks
budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih
dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Zona
of proximal development adalah daerah antar tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahanmasalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih mampu.
Menurut Vygotsky,
pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks social dengan
orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak
semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju
kemandirian bertindak dan berpikir. Pergeseran dari berpikir dan berbicara
nyaring sambil melakukan sesuatu ke
tahap berpikir dalam hati tanpa suara disebut internalisasi. Menurut Wretsch
(dalam Helena, 2004) internalisasi bagi Vygotsky bukanya transfer, melainkan
sebuah transformasi. Maksudnya, mampu berpikir tentang sesuatu yang secara
kualitatif berbedadengan mampu berbuat sesuatu. Dalam proses internalisasi,
kegiatan interpersonal seperti bercakap- cakap atau berkegiatan bersama,
kemudian menjadi interpersonal, yaitu kegiatan mental yang
dilakukan oleh seorang individu. Banyak gagasan Vygotsky yang dapat membantu
dalam membangun kerangka berpikir untuk mengajar bahasa asing bagi anak-anak.
2.
Emosi
Perkembangan
emosi sangat penting distimulasikan pada anak usia dini karena sejak anak lahir
sudah terjadi emosi yaitu saat bayi menangis. Emosi ini tidak bisa dibiarkan
tanpa adanya proses stimulasi dari orang tua maupun guru. apabila ada suatu hal
yang buruk hal ini sangat berdampak besar sampai dia dewasa. Oleh karena itu
masa usia dini sangat penting dalam perkembangan emosinya.
Pertumbuhan dan perkembangan emosi,
seperti juga pada tingkah laku lainnya, ditentukan oleh proses pematangan dan
proses belajar. Pada bayi yang baru lahir, satu-satunya emosi yang nyata adalah
kegelisahan yang tampak sebagai ketidaksenangan dalam bentuk menangis meronta.
Pada keadaan tenang, bayi itu tidak akan menunjukkan perbuatan apapun, jadi
dapat disimpulkan emosinya sedang dalam keadaan normal (netral).
Makin besar seorang anak, makin
besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosinya makin
rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan hanya terjadi sampai usia
satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh
proses belajar.
Pengaruh kebudayaan besar sekali terhadap
perkembangan emosi, karena dalam tiap-tiap kebudayaan diajarkan cara menyatakan
emosi yang konvensional dan khas dalam kebudayaan yang bersangkutan, sehingga
ekspresi tersebut dapat dimengerti oleh orang lain dalam kebudayaan yang sama.
Yang dipelajari dalam perkembangan emosi adalah
objek-objek dan situasi yang menjadi sumber emosi. Seorang anak yang tidak
pernah ditakut-takuti di tempat gelap, tidak akan takut kepada tempat yang
gelap. Pria Amerika jarang menangis pada peridtiwa-peristiwa seperti
perkawinan, gagal ujian dan sebagainya. Tetapi, pria Perancis lebih mudah untuk
mencucurkan air mata dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
Sikap yang disertai dengan emosi ayng
berlebih-lebihan disebut kompleks, misalnya kompleks rendah diri, yaitu sikap
negatif terhadap diri sendiri yang disertai perasaan malu, takut, tidak
berdaya, segan bertemu dengan orang lain dan sebagainya.
Perkembangan emosi pada anak ada beberapa fase yang
dilalui, fase-fase tersebut yaitu:
a. Pada bayi hingga 18 bulan
1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui
bahwa lingkungan di sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada
fase ini berperan dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap
orang lain serta interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang memberikan ASI
secara teratur memberikan rasa aman pada bayi.
2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum
jika ia merasa nyaman dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika
melihat wajah dan suara orang di sekitarnya.
3) Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai
belajar mengekspresikan emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. Pada
bulan ke-12 sampai 15, ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan
semakin besar. Ia akan gelisah jika ia dihampiri orang asing yang belum
dikenalnya. Pada umur 18 bulan bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi
yang di tunjukan orang-orang yang berada di sekitar dalam merespon kejadian
tertentu.
b. 18 bulan sampai 3 tahun
1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan
batasan yang berlaku di lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan
perbuatannya yang akan banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya
di lingkungan. Fase ini anak belajar membedakan cara benar dan salah dalam
mewujudkan keinginannya.
2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan
banyak kata untuk mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan
ekspresi wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat
membantu anak mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya orang tua
menerjemahkan mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa
3) mengekspresikan emosinya dengan bahasa verbal. Anak
mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak mulai mengendalikan prilaku dan
menguasai diri.
c. Usia antara 3 sampai 5 tahun
1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk
mengambil inisiatif sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan
pertemanan yang baik dengan anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami
bahwa satu peristiwa bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda pada
beberapa orang. Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang merasa
senang, sementara yang kalah akan sedih.
d. Usia antara 5 sampai 12 tahun
1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan
aturan yang berlaku. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai
mampu menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk
menyembunyikan informasiinformasi secara.
2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini
anak telah menginternalisasikan rasa malu dan bangga. Anak dapat
menverbalsasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakinbertambah usia anak,
anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain.
3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi
emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap distress emosional yang
terjadi pada orang lain. Selain itu dapat mengontrol emosi negative seperti
takut dan sedih. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut
sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol (Suriadi &
Yuliani, 2006).
4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang
baik-buruk, tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di
lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di
usia kanak-kanak awal. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau
aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya
perilaku tersebut. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.
3.
Moral
Perkembangan
moral sangat penting diterapkan pada anak usia dini karena pada usia ini
berbagai pertumbuhan dan perkembangan anak mulai dan sedang berlangsung. Para
ahli menyebut periode perkembangan masa kanak-kanak sebagai masa emas (golden
age) dimana pada masa ini semua potensi (fisik, bahasa,
intelektual/kognitif, emosi, sosial, moral, dan agama) yang dimiliki anak dapat
berkembang dengan baik. Perkembangan pada masa awal ini akan menjadi penentu
perkembangan selanjutnya. Havighurst dalam (Latif, dkk, 2013: 22) menyatakan
bahwa perkembangan pada satu tahap perkembangan akan menentukan perkembangan
selanjutnya. Oleh karenanya penting sekali perkembangan perilaku prososial
dibiasakan dan dikembangkan ini sejak anak usia dini.
Sejalan
dengan Sujiono, B. dan SujionoY. N (2005: 78) alasan mengapa anak perlu
mempelajari berbagai perilaku sosial, yaitu agar anak dapat belajar bertingkah
laku yang dapat diterima lingkungannya, dapat memainkan peranan sosial sehingga
dapat diterima kelompoknya, dapat mengembangkan sikap sosial dan moral yang
sehat yang merupakan modal kesuksesan hidup di masa yang akan datang dan agar
anak mampu menyesuaikan diri dengan baik agar lingkungan dapat menerima anak
dengan senang hati.
Menurunnya
moral bangsa ini sudah sangat memprihatinkan. Salah satu penyebab yang cukup
berpengaruh terhadap tumbuhnya perilaku anti sosial adalah media. Peranan media
elektronik maupun media cetak juga memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap kecenderungan sosial. Studi (Buckley & Anderson, 2006; Greitemeyer
2010: 28) menunjukkan bahwa efek dari paparan media tergantung dari isi media
tersebut. Dijelaskan bahwa media dengan konten anti sosial dapat meningkatkan
perilaku anti sosial dan mengurangi perilakuprososial, sedangkan media yang
berisi dengan prososial diasumsikan dapat meningkatkan prososial dan mengurangi
anti prososial. Permasalahannya di Indonesia tayangan di televisi cenderung
menampilkan konten-konten yang kurang edukatif, hampir setiap hari di dalam tayangan
televisi dan media cetak ditampilkan bentuk-bentuk perilaku anti sosial seperti
kekerasan. Tayangan perilaku anti sosial tersebut secara bebas dapat dilihat
anak-anak sehingga mereka dengan mudah mencontohnya. Anak-anak merupakan
generasi penerus bangsa. Penting sekali mereka mendapatkan stimulasi ilmu yang
baik pula dari usia sedini mungkin, salah satunya melalui Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD). PAUD memiliki peran yang sangat menentukan. Oleh karena itu
sangatlah penting bahwa pendidikan moral harus ditanamakan sedini mungkin untuk
bekal anak di masa mendatang sesuai dengan fungsi utama PAUD yaitu
mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi aspek perkembangan nilai-nilai
agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional (UU
Sisdiknas tahun 2003 pasal 23) secara maksimal. Adapun tahapan perkembangan
moral yang harus diketahui untuk aplikasi di PAUD ada beberapa menurut ahli. Dengan
mengetahui tahap perkembangannya, akan diketahui bagaimana memberikan langkah strategi
pendidikan moral secara tepat terhadap individu.
1)
Tahapan Perkembangan Moral Piaget
a)
Moralitas heteronom ”realisme moral”
atau moralitas paksaan”: heteronom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan
orang lain. Aturan dipandang sebagai ketentuan yang tidak fleksibel, asal dan
wewenangnya dari luar. Tidak terbuka akan negosiasi dan benar hanya berarti
ketaatan harafiah terhadap orang dewasa dan aturan. (Slavin, 2011: 68-69). Contoh:
Anak-anak dihadapkan pada orang tua atau orang dewasa lain yang memberitahukan
kepada mereka apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Pelanggaran atas peraturan akan akan diberikan otomatis dan orang yang jahat
pada akhirnya akan dihukum.
b)
Moralitas Otonom “moralitas kerjasama”
(10-11 tahun): aturan sebagai produk kesepakatan bersama, terbuka pada
negosiasi ulang, dijadikan sah melalui penerimaan pribadi dan persetujuan
bersama dan benar berarti bertindak sesuai dengan ketentuan kerja sama dan
sikap saling menghormati.(slavin, 2011: 68-69). Contoh: ketika dunia sosial
anak meluas hingga meliput memiliki banyak teman sebaya. Dengan terus menerus
berinteraksi dengan orang lain, gagasan anak tersebut tentang aturan dan karena
itu moralitas juga akhirnya mulai berubah.kini aturan apa yang kita buat.
Hukuman atas pelanggaran tidak lagi otomatis melainkan melalui pertimbangan
maksud pelanggar dan lingkungan yang meringankan.
2)
Tahap-tahap Penalaran Moral Menurut
Kohlberg
Ketika
orang mempertimbangkan dilema moral, penalaran mereka sendirilah yang berperan
penting, bukan keputusan akhir mereka, menurut lawrence Kohlberg. Dia mempunyai
teori bahwa orang melewati tiga tingkat ketika mereka mengembangkan kemampuan
penalaran moral.
I.
Tingkat Prakonvensi
|
II.
Tingkat
Konvensi
|
III.
Tingkat
Pasca-konvensi
|
Aturan durumuskan orang lain
|
Individu menganut aturan dan
kadang-kadang menomorduakan kebutuhan diri sendiri tanpa peduli pada
konsekuensinya yang langsung dan tampak jelas
|
Orang mendefinisikan nilai-nilainya
sendiri berdasarkan prinsip etika yang telah mereka pilih untuk diikuti.
|
Stadium
1: orientasi Hukum dan ketaatan.
Konsekuensi fisik tindakan menentukan
kebaikan dan keburukannya.
|
Stadium
3: Orientasi “Anak Baik”.
Berdasarkan kerja sama dengan teman
sebayayaitu tahap dimana anak-anak mempunyai keyakinan yang tidak dapat
dipertanyakan. Karena kurangnya egosentrisme yang menyertai kegiatan
kongkret, anak sanggup menempatkan diri kedalam keadaan orang lain.
|
Stadium
5: Orientasi kontrak sosial.
Apa yang benarditentukan berdasarkan
hak-hak individu umum dan berdasar standar yang telah disepakati oleh seluruh
masyarakat hukum dipandang perlu untuk mempertahnkan tatanan sosialdan untuk
memastikan ha-hak dasar kehidupan dan kebebasan.
|
Stadium
2: orientasi Relativis Instrumental.
Apa yang benar adalah apa saja yang
memuaskan kebutuhan diri sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain.
Unsur-unsur keadilan dan ketimbalbalikan ada, tetapi kebanyakan ditafsirkan
dalam bentuk “anda menggaruk punggung saya dan saya akan menggaruk punggung
anda
|
Stadium
4: Orientasi “Hukuman dan Keteraturan”.
Benar berarti melakukan kewajiban
seseorang, dengan memperlihatkan sikap hormat kepada oarang yang berwenang
dan memepertahankan tatanan sosial tertentu bagi dirinya. Peraturan dan hukum
masyarakat menggantikan peraturan dalam hukum kelompok teman sebaya
|
Stadium
6: Orientasi prinsip etika universal.
Apa yang benar ditentukan dengan suara
hati menurut prinsip etikayang dipilih pribadi. Prinsip ini abstrak dan etis,
bukan ketentuan moral spesifik. Seperti keadilan, kesetaraan, dan nilai hak
asasi manusia. Hukum yang melanggar prinsip-prinsip inidapat dan seharusnya
tidak ditaati karena “keadilan berada diatas hukum”.
|
Dalam teori Kohlberg tentang penalaran moral,
situasi hipotesis yang menuntut orang mempertimbangkan nilai-nilai yang benar
dan salah. Pada tingkap moralitas prakonvensi yaitu tahap 1 dan 2 dimana orang
melakukan penilaian moral demi kepentingannya sendiri. Pada tingkat moralitas
konvensi yaitu tahap 3 dan 4 dimana orang melakukan penilaian moral dengan
mempertimbangkan orang lain. Pada tingkat moralitas pasca-konvensi yaitu tahap
5-6 diman orang melakukan penilaian moral berdasarkan prinsip-prinsip yang
abstrak.
Nilai-nilai moral itu tersendiri tidak dapat
terlepas dari keagamaan seseorang, karena setiap manusia berlandaskan dan
bergantung pada suatu agama tertentu untuk dapat mengontrol dan mengatur
kehidupannya di dunia. Perkembangan Piaget dan Kohlberg baru menyentuh dimensi
moral secara umum, dan belum menyentuh pada wilayah agama secara khusus,
terlebih lagi perkembangan keagamaan pada anak. Teori piaget juga diikuti oleh
David Elkind yang mengembangkan teori Piaget kedalam pola perkembangan
keagamaan pada anak. Elkind menyatakan bahwa terdapat 4 tipe:
1)
Pencarian untuk Konversi; anak-anak
menganggap hidup adalah abadi
2)
Pencarian Representasi; dimulai pada
masa prasekolah, gambaran mental dan perkembangan bahasa
3)
Pencarian Relasi (pertengahan
anak-anak); anak-anak sudah mengalami kematangan mental, sehingga mereka
merasakan hubungan dengan Tuhan
4)
Pencarian tentang Pemahaman (anak-anak
tumbuh dewasa); mereka semata-mata menyerap jalinan persahabatan dan
perkembangan untuk berteori. (Suyadi, 2009: 132-133).
Dari keemapat fase tersebut, Elkind menyimpulkan
bahwa fase perkembangan keagamaan dari janin hingga dewasa sesuai dengan
kemunculan 4 kebutuhan kognitif dan masing-masing tahapan mempunyai salah satu
aspek beragama.
4.
Bahasa
Bahasa
sangat penting dalam pendidikan anak usia dini karena bahasa merupakan alat
komunikasi yang vital sejak mereka lahir. Apabila stimulasi yang diberikan tidak
maksimal dan sesuai dengan tahapannya akan berdampak besar sampai dia dewasa.
Perkembangan bahasa sebagai
salah satu dari kemampuan dasar yang harus dimiliki anak, sesuai dengan tahapan
usia dan karakteristik perkembangannya. Perkembangan adalah suatu perubahan
yang berlangsung seumur hidup dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berinteraksi seperti biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Bahasa adalah
suatu sistem simbol untuk berkomunikasi yang meliputi fonologi (unit suara),
morfologi (unit arti), sintaksis (tata bahasa), semantik (variasi arti), dan
pragmatik (penggunaan) bahasa. Dengan bahasa, anak dapat mengkomunikasikan
maksud, tujuan, pemikiran, maupun perasaannya pada orang lain.
Anak usia dini, khususnya
usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosa kata secara mengagumkan. Menurut Owens dalam Rita mengemukakan bahwa “anak usia tersebut memperkaya kosa katanya melalui
pengulangan”. Mereka sering mengulangi kosa kata yang baru dan unik sekalipun
belum memahami artinya. Dalam mengembangkan kosa kata tersebut, anak
menggunakan fast wrapping yaitu suatu
proses dimana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua
kali dalam dialog. Pada masa dini inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata
menjadi kata, dan kata menjadi kalimat.
Anak usia 4-5 tahun
rata-rata dapat menggunakan 900-1000 kosa kata yang berbeda. Mereka menggunakan
4-5 kata dalam satu kalimat yang dapat berbentuk kalimat pernyataan, negatif, tanya, dan perintah. Anak usia 4 tahun sudah mulai
menggunakan kalimat yang beralasan seperti “saya menangis karena sakit”. Pada
usia 5 tahun pembicaraan mereka mulai
berkembang dimana kosa kata yang digunakan lebih banyak dan rumit.
Berpartisipasi dalam
komunikasi bahasa seperti dalam penciptaan teks, baik lisan maupun tulisan. Menurut Haliday dan Hasan dalam Rita mendefinisikan “teks
sebagai wacana, lisan maupun tulisan, seberapapun panjangnya, yang membentuk
satu kesatuan yang utuh”.
Tahap-tahap
perkembangan bahasa anak, adalah sebagai berikut:
1)
Tahap
Meraban Pertama (Pralinguistik) Pertama
Pada
tahap meraban pertama, selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi menangis,
mendekut, mendenguk, menjerit dan tertawa. Tahap meraban pertama ini dialami
oleh anak berusia 0-5 bulan. Mereka seolah-olah menghasilkan tiap-tiap jenis
bunyi yang mungkin dibuat. Banyak pengamat yang telah menandai ini sebagai
tahap bayi menghasilkan segala bunyi ujaran yang dapat ditemui dalam segala
bahasa dunia. Bagaimanapun juga, hal yang penting bahwa suara-suara bayi yang
masih kecil itu secara linguistik tidak merupakan ucapan yang berdasarkan
organisasi fonemik dan fonetik. Suara-suara atau bunyi-bunyi ujaran, baru
merupakan tanda-tanda akustik yang diturunkan oleh bayi jika mereka
menggerakkan alat bicaranya. Mereka bermain dengan alat-alat suara mereka,
sebagaimana mereka bermain dengan tangan dan kaki mereka, tetapi rabanan mereka
hendaknya jangan digolongkan sebagai performansi linguistik. Hal yang menarik
untuk dicatat bahwa bayi-bayi yang tuli sekalipun maju dengan agak normal
selama tahap permulaan ini.
2)
Tahap
Meraban (Pralinguistik) Kedua
Tahap
meraban kedua ini dialami oleh anak berusia 6 bulan-1 tahun. Tahap ini disebut
juga tahap kata omong-kosong, tahap kata tanpa makna. Awal tahap meraban kedua
ini biasanya pada permulaan kedua, tahun pertama kehidupan. Sekalipun anak-anak
tidak dapat dikatakan mempergunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya, namun
produksi pada saat ini seolah-olah jauh lebih dekat kepada ujaran daripada yang
mereka buat pada tahap meraban pertama. Ciri-ciri yang menarik dari meraban
pada periode ini ialah rabanan tersebut seringkali dihasilkan dengan intonasi
kalimat, kadang-kadang dengan tekanan menurun yang ada hubungannya dengan
pertanyaan-pertanyaan.
3)
Tahap
I: Tahap Holofrastik (Tahap Lingustik Pertama)
Ini
adalah tahap satu kata, yang dimulai sekitar usia satu tahun. Ucapan satu-kata
pada periode ini disebut holofrase karena anak-anak menyatakan makna
keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu.
Demikianlah, anak-anak yang mengatakan susu
dapat berarti bahwa dia mempunyai segelas susu ataupun mungkin dia melaporkan
bahwa susunya diminum kucing atau tumpah. Banyak sekali terdapat kedwimaknaan
dalam ujaran anak-anak selama tahap ini dan juga berikutnya. Maka, seringkali
perlu diamati benar-benar apa yang sedang dilakukan anak-anak itu, barulah kita
dapat menentukan apa yang dia maksud atas apa yang di ucapkan itu.
4)
Tahap
II: Ucapan-ucapan Dua Kata
Tahap
ini biasanya mulai menjelang hari ulang tahun kedua. Anak-anak memasuki tahap ini
dengan pertama kali mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat.
Keterampilan anak pada akhir tahap ini makin luar biasa. Komunikasi yang ingin
ia sampaikan adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang digunakan untuk itu
sama seperti perkembangan awal yaitu: sini, sana, lihat, itu, ini, lagi, mau
dan minta. Selain keterampilan mengucapkan dua kata, anak terampil melontarkan
kombinasi antara informasi lama dan baru. Pada periode ini tampak sekali
kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul pada anak dikarenakan makin
bertambahnya pembendaharaan kata yang diperoleh dari lingkungannya dan juga
karena perkembangan kognitif serta fungsi biologis pada anak.
5)
Tahap
III: Pengembangan Tata Bahasa
Tahap
ini dimulai sekitar usia anak 2,6 tahun, tetapi ada juga sebagian anak yang
memasuki tahap ini ketika memasuki usia 2 tahun, bahkan ada juga anak yang
lambat yaitu ketika anak berumur 3 tahun. Selama Tahap III anak-anak
mengembangkan sejumlah sarana ketatabahasaan. Panjang kalimat mereka bertambah,
tetapi hal ini tidaklah begitu penting karena ucapan-ucapan mereka semakin
bertambah rumit. Tahap ini terutama untuk pengembangan sarana ketatabahasaan
yang terdapat pada kalimat-kalimat tunggal. Bentuk-bentuk negatif dan
pertanyaan pun diperhalus tetapi belum sempurna selama tahap ini. Ujaran
anak-anak sebagai penambahan serta pengayaan jumlah dan tipe kata-kata secara
berangsur-angsur yang dipergunakan sejalan dengan kemajuan maturasi (pematangan
seorang anak). Ada beberapa keterampilan mencolok yang dikuasai anak pada tahap
ini:
a)
Pada
akhir periode ini secara garis besar anak telah menguasai bahasa ibunya.
b)
Perbendaharaan
kata berkembang.
c)
Mereka
mulai dapat membedakan kata kerja (contoh: minum, makan, pergi, pulang, mandi),
dan kata-kata benda (buku,
baju, gelas, nasi, susu) dan sudah dapat mempergunakan kata depan (di, ke,
dari), kata ganti (aku, saya) dan kata kerja bantu (tidak, bukan, mau, sudah).
d)
Fungsi
bahasa untuk berkomunikasi betul-betul mulai berfungsi.
e)
Persepsi
anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang
lain.
f)
Tumbuhnya
kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Hal ini terjadi karena
memang daya fantasi anak pada tahap ini sedang pesat berkembang
6)
Tahap
IV: Tata Bahasa Menjelang Dewasa
Perbaikan
yang diperlukan oleh anak-anak pada masa ini mencakup belajar banyak
kekecualian dari keteraturan sintaksis dan fonologis dalam bahasa tersebut.
Charol Chomsky (1969) melaporkan serangkaian telaah yang memperlihatkan bahwa
perincian yang baik mengenai struktur linguistik masih tetap berkembang pada
anak-anak antara usia lima sampai sepuluh tahun. Pada tahap ini anak sudah
tidak mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi-bunyi suara. Untuk memperkaya
kebahasaan anak orang tua atau guru dapat mulai dengan mendongeng, bernyanyi
atau bermain bersama anak di samping sesering mungkin mengajaknya
bercakap-cakap.
7)
Kompetensi
lengkap
Pada
akhir masa anak-anak, setiap orang yang tidak mendapat rintangan apa-apa,
sebenarnya telah mempelajari semua sarana sintaksis bahasa ibunya dan
keterampilan-keterampilan performansi yang menandai untuk memahami dan
menghasilkan bahasa yang biasa. Tentu saja perbendaharaan kata-kata seseorang
terus-menerus bertambah selama masa kanak-kanak dan bahasa seseorang berubah
dalam gaya dan diharapkan bertambah lancar serta fasih setelah melewati masa
kanak-kanak.
Anak usia taman kanak-kanak
berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif. Hal ini berarti bahwa
anak telah dapat mengungkapkan keinginananya, penolakannya, maupun pendapatnya
dengan menggunakan bahasa lisan. Bahasa lisan sudah dapat digunakan anak
sebagai alat berkomunikasi. Aspek-aspek yang berkaitan dengan perkembangan
bahasa anak tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kosa kata
Seiring
dengan perkembangan anak dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungannya,
kosa kata anak berkembang dengan pesat.
2) Sintaksis (tata bahasa)
Walaupun
anak belum mempelajari tata bahasa, akan tetapi melalui contoh-contoh berbahasa
yang di dengar dan di lihat anak di lingkungannya, anak telah dapat menggunakan
bahasa lisan dengan susunan kalimat yang baik. Misalnya: “Rita memberi makan
kucing” bukan “kucing Rita makan memberi”.
3) Semantik
Semantik maksudnya
penggunaan kata sesuai dengan tujuannya. Anak di taman kanak-kanak sudah dapat
mengekspresikan keinginan, penolakan dan pendapatnya dengan menggunakan
kata-kata dan kalimat yang tepat. Misalnya: “tidak mau” untuk menyatakan
penolakan.
2) Fonem (satuan bunyi terkecil yang membedakan kata)
Anak di taman kanak-kanak sudah memilki kemampuan
untuk merangkaikan bunyi yang di dengarnya menjadi satu kata yang mengabdung
arti. Misalnya: i.b.u menjadi ibu.
5.
Fisik
Motorik
Perkembangan fisik motorik yang sangat pesat
berkembang pada anak usia dini, oleh karena itu harus diberikan stimulus yang
tepat agar dapat mencapai perkembangan yang optimal. Disini peran guru dan
orang tua sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik motorik anak
karena apabila anak salah mendapat perlakuan yang salah tidak sesuai kemampuan
dan perkembangannya dalam usia ini akan memberikan dampak yang besar saat
mereka dewasa nanti.
Perkembangan fisik menjelaskan perubahan
penampilan fisik anak-anak dan juga kemampuan motoriknya. Selama masa
prasekolah, urutan yang dialami semua anak ketika mengembangkan kemampuan
umumnya sama, walaupun beberapa anak menguasai lebih cepat daripada yang lain.
Pencapaian
fisik utama bagi anak-anak prasekolah adalah peningkatan pengendalian terhadap
otot-otot besar dan kecil. Perkembangan otot kecil, atau kegiatan motorik
halus, terkait dengan gerakan yang memerlukan ketepatan dan kecekatan, seperti
mengancing kemeja atau menutup resleting jaket. Perkembangan otot besar, atau kegiatan
motorik kasar, melibatkan gerakan seperti berjalan dan berlari. Tabel 3.1
memperlihatkan usia ketika kebanyakan anak menguasai berbagai kemampuan
motorik.
Tabel 3.1 Perkembangan Motorik Anak-anak
Prasekolah
Usia
|
Kemampuan
|
2 tahun
|
Berjalan dengan kaki mengangkang dan tubuh
berayun. Dapat memanjat, mendorong, menarik, berlari, bergantung dengan kedua
tangan. Mempunyai sedikit daya tahan. Meraih benda dengan dua tangan.
|
3 tahun
|
Lebih merapatkan kedua kaki ketika berjalan
dan berlari. Dapat berlari dan bergerak lebih mulus. Meraih benda dengan satu
tangan. Melumuri dan mengoleskan cat; menyusun balok
|
4 tahun
|
Dapat mengubah irama berlari. Melompat
dengan janggal; meloncat. Mempunyai kekuatan, daya tahan, dan koordinasi yang
lebih besar. Menggambar bangun dan bentuk sederhana; membuat lukisan;
menggunakan balok untuk bangunan.
|
5 tahun
|
Dapat berjalan di balok keseimbangan.
Melompat dengan mulus; berdiri pada satu kaki. Dapat mengurus kancing dan
resleting; dapat mengikat tali sepatu. Menggunakan perkakas dan alat dengan
benar.
|
Pada
akhir periode prasekolah, kebanyakan anak dengan mudah dapat melakukan
tugas-tugas untuk diri sendiri, seperti memasang ikat pinggang, memancing
pakaian, dan menutup resleting. Mereka dapat naik dan turun tangga dengan kaki
yang saling bergantian. Mereka dapat melakukan kegiatan motoric halus seperti
memotong dengan gunting dan menggunakan krayon untuk mewarnai daerah yang sudah
ditentukan sebelumnya. Mereka juga mulai belajar menulis huruf dan kata.
Setelah usia 6 atau 7 tahun, anak-anak menguasai hanya sedikit kemampuan dasar
yang sama sekali baru; sebaliknya, kualitas dan tingkat kerumitan gerakan
mereka meningkat (Berk: 2001).
Kesempatan
yang luas untuk bergerak, pengalaman belajar untuk menemukan, serta aktivasi
sensori motor yang meliputi penggunaan otot-otot besar dan kecil memungkinkan
anak untuk memenuhi perkembangan perseptual motorik. Bermain dapat memacu
perkembangan perseptual motoric pada beberapa area, yaitu: (1) koordinasi
mata-tangan atau mata-kaki, seperti saat menggambar, menulis, manipulasi objek,
mencari jejak secara visual, melempar, menangkap, dan menendang; (2) kemampuan motoric
kasar, seperti gerak tubuh ketika berjalan, melompat, berbaris, meloncat,
berlari, berjingkat, berguling-guling, merayap, dan merangkak; (3) kemampuan
bukan motoric kasar (statis) seperti menekuk, meraih, bergiliran, memutar,
meregangkan tubuh, jongkok, duduk, berdiri, bergoyang, serta (4) manajemen
tubuh dan control, seperti menunjukkan kepekaan tubuh, kepekaan akan tempat;
keseimbangan; kemampuan untuk memulai; berhenti; dan mengubah petunjuk.
Komentar
Posting Komentar