A.
KONSEP
STUDI SOSIAL
1.
Pengertian
Studi Sosial
Studi sosial adalah proses mempelajari, menelaah dan
memahami manusia dalam konteks hubungan timbal balik (interaksi) antara satu
dengan lainnya. Studi sosial bagi anak usia dini adalah kegiatan anak usia dini
yang dilakukan dengan cara mempelajari berbagai kehidupan sosial manusia pada
berbagai situasi atau konteks. (Hapidin)
Disisi lain, DoDEA yang merupakan Departemen Pertahanan
Kegiatan Pendidikan di Amerika menyatakan bahwa
Social Study is a vital part of the
Department of Defense Education Activity (DoDEA) curriculum which emphasizes
the growth and preservation of a democratic society and the interdependency of
the world. The program is designed to provide students with learning
experiences which will aid in the development of knowledge, skills, values, and
attitudes necessary for participation as citizens in a culturally diverse,
democratic society.[1]
Dari penjelasan di atas bisa dijelaskan bahwa studi
sosial merupakan bagian penting dari DoDEA. Dalam hal ini, kurikulum DoDEA yang
di dalamnya termasuk studi sosial menekankan pada pertumbuhan dan kesejahteraan
masyarakat yang demokratis dan saling membutuhkan. Selain itu, program ini
disusun untuk memberikan siswa pengalaman belajar yang akan membantu mereka
dalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, nilai serta sikap dan perilaku
untuk berpartisipasi sebagai warga negara yang demokrasi dengan budaya yang
beragam.
2.
Tujuan
Studi Sosial
a.
Membantu anak
dalam mengembangkan kemampuannya untuk mendapatkan informasi, dan dapat membuat
keputusan baik untuk dirinya sendiri dan orang lain
b.
Berpikir kritis,
rasional, dan kreatif, dalam menanggapi isu kewarganegaraan
c.
Mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya.
d.
Memiliki
kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkan masalah dan ketrampilan dalam kehidupan sosial
e.
Memiliki
kesadaran terhadap nilai sosial dan kemanusiaan
f.
Memiliki kemampuan
komunikasi bekerja sama dalam masyarakat
3.
Kurikulum
Pendidikan terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia.
Pendidikan diarahkan pada perkembangan dan pertumbuhan manusia agar dapat
menjadi manusia yang memiliki identitas yang berbeda dengan makhluk lainnya.
Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran yang sangat sentral sehingga dalam
prosesnya diperlukan adanya perancangan suatu program pendidikan. Nugraha dalam
bukunya menyatakan bahwa “Curriculum
dalam bahasa Yunani berasal dari kata curir
yang artinya pelari, dan curere yang
artinya tempat berpacu”.[2]
(Nugraha, et al. 2005: 1.2).
Kurikulum sebagai bagian dari program pendidikan merupakan suatu pedoman umum
dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Sedangkan Jackman menyatakan bahwa“ curriculum is a multilevel process that encompasses what happens in an early
education clasroom each day, reflecting the philosophy, goals, and objectives
in early childhood program”.[3]
Dengan mengambil makna dari batasan kurikulum tersebut, secara sederhana
kurikulum diartikan sebagai suatu proses pembelajaran yang harus diselesaikan
oleh siswa untuk memperoleh kelulusan dari suatu jenjang pendidikan.
Penekanan selanjutnya kurikulum memiliki batasan yang lebih luas
yaitu pada pengalaman belajar yang diterima oleh siswa yang dapat mempengaruhi
perkembangan pribadinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Gestwicky yang
menyatakan bahwa
experienced preschool
teachers recognize that they are in fact teaching important content from the
various academic disciplines and have always done so, but that this content is
integrated in curriculum activities. ... The concept of integrating curriculum
comes in part from considering the integrated nature of development.[4]
Batasan kurikulum yang memfokuskan pada seluruh pengalaman belajar
yang diperoleh anak dikemukakan pula oleh Bennet et al. “pengembangan kurikulum adalah pengembangan sejumlah
pengalaman belajar melalui kegiatan bermain yang dapat memperkaya pengalaman
anak tentang berbagai hal, seperti cara berfikir tentang diri sendiri, tanggap
pada pertanyaan, dan dapat memberikan argumentasi dari berbagai alternatif”.[5]
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum kurikulum Pendidikan Anak
Usia Dini dapat dimaknai sebagai seperangkat kegiatan belajar sambil bermain
yang sengaja direncanakan untuk dapat dilaksanakan dalam rangka menyiapkan dan
meletakan dasar-dasar bagi pengembangan diri anak usia dini secara kontinu
dalam rangka persiapan bagi anak untuk melakukan pendidikan pada jenjang
selanjutnya.
Menurut NAEYC Early Childhood
Program Standar terdapat 2 (dua) hal penting tentang kurikulum bagi anak
usia dini, yaitu:
a. Program
kegiatan bermain pada anak usia dini diterapkan berdasarkan kurikulum yang
berpusat pada anak, serta dapat mendukung kegiatan pembelajaran dan
perkembangan pada setiap aspek baik estetika, kognitif, emosional, bahasa,
fisik dan sosial;
b. Kurikulum
berorientasi pada hasil dan mengaitkan berbagai konsep dan perkembangan. Pada
saat disampaikan oleh guru dalam setiap individu anak, maka kurikum yang telah
dirancang diharapkan dapat membantu guru, sehingga dapat menyediakan pengalaman
yang dapat mengembangkan perkembangan pada jenjang yang lebih tinggi pada
wilayah perkembangannya. Hal ini juga mengarah pada intensionalitas dan
ungkapan kreatif, dan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar secara
individu dan berkelompok berdasarkan kebutuhan dan minat mereka.[6]
Terkait dengan kurikulum sebagai suatu program, menurut
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (2010: 2) dijelaskan
bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”.[7]
Sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, Nugraha, et al. menjelaskan beberapa fungsi
kurikulum, diantaranya:
a. Fungsi
kurikulum sebagai proses kognitif, artinya kurikulum dipandang sebagai alat
pengembangan kemampuan berfikir untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan
yang akan dihadapi.
b. Fungsi
kurikulum sebagai proses aktualisasi diri, dimana kurikulum merupakan alat
untuk memfasilitasi anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan
potensi, minat dan bakat yang dimilikinya, sehingga setiap anak bisa mengenal
proses perubahan tumbuh kembang dirinya sendiri.
c. Fungsi
kurukulum sebagai proses rekonstruksi sosial, dimana kurikulum dipandang
sebagai alat untuk membekali anak agar dapat menjadi anggota masyarakat yang
tidak saja menerima atau menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sudah ada,
tetapi juga secara inovatif dan kreatif mampu mengembangkan kehidupan ke arah
yang lebih produktif dan berkualitas.
d. Fungsi
kurikulum sebagai program akademik, dimana kurikulum dipandang sebagai alat dan
tempat belajar sehingga anak dapat memperoleh pengetahuan yang diharapkan dapat
membekali kemampuan untuk bisa hidup dalam zaman yang dilaluinya.[8]
Subandiyah mengemukakan tentang prinsip-prinsip pengembagan
kurikulum, antara lain:
a. Relevansi,
kurikulum anak usia dini harus relevan dengan kebutuhan dan perkembangan anak
secara individu.
b. Adaptasi,
kurikulum anak usia dini harus memperhatikan dan mengadaptasi perubahan
psikologis, IPTEK dan seni yang berkembang pada saat itu.
c. Kontinuitas,
kurikulum anak usia dini harus disusun secara berkelanjutan antara satu tahap
perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya agar anak siap memasuki
pendidikan selanjutnya.
d. Fleksibilitas,
kurikulum anak usia dini harus dipahami, dipergunakan dan dikembangkan secara
fleksibel sesuai dengan keunikan dan kebutuhan anak yang berbeda setiap
individu, serta kondisi lembaga penyelenggara.
e. Kepraktisan
dan akseptabilitas, kurikulum anak usia dini harus memberikan kemudahan bagi
praktisi dan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pendidikan pada anak usia
dini.
f. Kelayakan,
kurikulum anak usia dini harus menunjukan kelayakan dan keberpikiran pada anak
usia dini.
g. Akuntailitas,
kurikulum anak usia dini harus dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat
sebagai pengguna jasa pendidikan anak usia dini.[9]
Menyimak beberapa batasan kurikulum tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kurikulum sebagai program pendidikan yang disusun secara logis
dan sistematis sebagai pedoman umum untuk penyelenggaraan sistem pendidikan
yang dapat memfasilitasi pengoptimalan pencapaian hasil, sehingga dapat melahirkan
siswa yang memiliki kompetensi akademik, personal, sosial, maupun vokasional
secara terintegrasi.
B.
INDIVIDU,
GRUP, DAN INSTITUSI
1.
Hakikat Individu, Kelompok, dan Lembaga
Menurut National Council for Social Studies
(NCSS, 2004) ada 10 tema dalam studi sosial, salah satunya adalah Individu,
Kelompok, dan Lembaga.[10]
Dalam tema individu, kelompok, dan lembaga anak-anak belajar berinteraksi di
antara individu, kelompok, dan lembaga. Anak-anak usia 3-5 tahun bisa memeriksa
hak dan tanggung jawab individu dalam hubungan dengan keluarganya, kelompok
sosial, masyarakat, dan bangsa. Tema individu, kelompok, dan lembaga dalam
studi sosial diajarkan setelah anak-anak mempelajari diri sendiri, disini
anak-anak diajarkan untuk menyatakan hak-hak mereka dan menerima tanggung jawab
untuk kepentingan kelompok.[11]
Pada
akhir Taman Kanak-kanak diharapkan anak sudah terlibat dalam partisipasi dalam
demokrasi mini di ruang kelas mereka, menyelaraskan kebutuhan mereka dengan
kebutuhan kelompok, dan mengetahui bagaimana membuat dan menjaga
peraturan-peraturan. Contohnya saja, berdasarkan persetujuan dan persahabat
dari mereka, anak-anak siap menerima tanggung jawab, bukan hanya untuk diri
mereka sendiri tetapi juga untuk kelompok dan ini bukanlah sesuatu hal yang
mudah untuk mereka.
Dengan
pikiran yang berpusat pada diri sendiri, anak-anak TK dari segi perkembangan
sungguh tidak mampu memikirkan kesejahteraan orang lain. Oleh karena itu,
dibentuklah demokrasi di dalam ruang kelas untuk anak-anak. Dalam ruang kelas
yang demokrasi, anak-anak mempunyai banyak kesempatan untuk mengembangkan
keterampilan sosial berpartisipasi dan berkooperasi yang sangat diperlukan
untuk bersosialisasi ke dalam kebudayaan mereka.
Anak usia dini dapat
mempelajari mengenai kelembagaan seperti sekolah, lembaga keagamaan,
pemerintahan dan hukum yang memiliki peran dalam hidup kita. Lembaga-lembaga
tersebut beserta lembaga lainnya memberikan pengaruh yang
besar kepada kita. Anak usia dini mengenal bahwa dirinya (individu) seorang
murid di TK (TK adalah lembaga), di TK anak berteman dengan B, E dan G (Group).
Anak usia dini berada dalam sebuah
kelompok yang dinamakan keluarga (terdiri dari ayah, ibu, kakak dan adik).
Anak usia dini
menyadari bahwa ketika dalam group ada peraturan yang harus disepakati jika dia
melanggar, dia akan ditolak kelompok. Institusi
atau lembaga juga mempunyai aturan dalam kelas, aturan
kekamar kecil, aturan bermain bebas, aturan berbicara atau berdiskusi dan
sebagainya.
Beberapa anak mempunyai
waktu yang cukup banyak untuk berinteraksi dengan teman grupnya. Ketika mereka
terlalu berkompetensi dalam membuat sebuah persahabatan dan untuk menarik
perhatian dan respect hormat dari kelompok bermainnya. Peneliti pada umumnya
menggunakan sociometric interview
untuk menilai keseluruhan persaingan sosial dari anak-anak di kelasnya. Dalam
teknik ini anak dari sebuah bagian kelas diwawancarai secara perseorangan mengenai
teman-teman mereka yang disukai untuk diajak bermain dan yang tidak disukai
untuk diajak bermain. Beberapa nama anak yang disebutkan terpilih menjadi teman
bermain. Peneliti menyebut anak-anak ini sebagai anak popular. Disisi lain pada
umumnya nama mereka yang tidak disukai sebagai teman bermain tergolong anak
yang ditolak. Jenis kelompok yang ketiga yaitu anak terlantar adalah anak yang
tidak pernah disebutkan namanya dalam kelompok bermain. Anak popular adalah
anak yang banyak disukai oleh teman bermain dan mempunyai banyak teman. Adapun
karakteristik anak popular adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 CHARACTERISTICS OF POPULAR CHILDREN
Characteristic
|
Description
|
Socially
active
|
Takes
initiative in play and makes many social contacs
|
Highly
directive
|
Takes
leadership in play and directs the activities of peers
|
Linguistically
effective
|
Uses language
often and competently to persuade peers or capture and maintain their
attention
|
Positive in
affect
|
Engages in
friendly, supportive, interactions, and avoids bossing, bullying, and whining
|
Diplomatic
|
Accepts the
suggestions of peers a moderate amount of the time or rejects others’ ideas
by offering alternatives
|
Skilled in
conflict resolution
|
Resolves
conflicts in nonagressive ways that are satisfying to all involved
|
Skilled in
play group entry
|
Enters play
groups effectively, using interesting and unobtrusive initiatives
|
Competent in
interpreting social situations
|
Accurately
reads social situations and the characteristics of plamates and selects
appropriate behaviors for resolving conflicts[12]
|
Tabel diatas
menunjukkan mengapa anak populer lebih sering disukai. Yang pertama, karena
mereka selalu aktif dalam bersosialisasi. Mereka selalu berinisiatif untuk
melakukan kontak dengan teman bermain dan selalu energik dalam kegiatan
bermain. Secara keseluruhan, mereka adalah pemimpin yang membuat banyak saran
atau ide serta struktur kegiatan dalam sebuah permainan.
Di dalam kelompok
bermain selain terdapat anak populer terdapat juga anak ditolak. Anak ditolak
adalah anak yang selalu dihindari dari kelompok bermain. Berikut adalah
beberapa karakteristik anak ditolak:
Tabel 2.2 CHARACTERISTICS
OF REJECTED CHILDREN
Characteristic
|
Description
|
Negative
|
Displays a
negative, obviously unpleasant affect
|
Whiny
|
Complains,
whimpers, or tattles with regularity
|
Unpredictably
aggressive
|
Hits, pushes, bites,
or verbally assaults peers, often without reason or provocation
|
Unskilled at
interpreting social situations
|
Misreads
social situations and erroneously assigns hostile intent to benign acts of
peers
|
Antisocial and
isolated from peers
|
Avoids others and
chooses to play alone[13]
|
Seperti terlihat di tabel
tersebut anak ditolak sering kali tidak disukai karena mereka menunjukan
kebiasaan anti sosial yang secara jelas menggangu. Mereka sering kali terlalu
agresif dan pada umumnya anak yang terlalu agresif tidak disukai oleh teman
lainnya. Mereka selalu menunjukkan sikap agresif dalam menanggapi
teman-temannya dan tidak jarang melakukan penganiayaan. Selain itu, mereka juga
sering melakukan perilaku agresif secara verbal seperti mengolok-olok ataupun
menjelek-jelekkan nama temannya.
Karakteristik anak
yang ketiga yaitu anak terlantar atau anak yang diabaikan. Anak dengan
karakteristik ini sebagian besar diabaikan oleh teman-teman mereka, bahkan
kadang-kadang diabaikan oleh pengasuh atau guru mereka. Adapun karakteristik
anak terlantar adalah sebagai berikut:
Tabel
2.3 CHARACTERISTICS OF NEGLECTED CHILDREN
Characteristic
|
Description
|
Isolated from
peers
|
Plays alone
and often retreats when peers approach
|
Shy
|
Exhibits
reticence and anxiety in social situations
|
Unskilled at
entering play groups
|
Lacks the
ability to enter play groups in progress or to join peers in play
|
Unskilled
capturing peer attention
|
Lacks the
ability to capture and maintain a peer’s attention
|
Unskilled in
play leadership
|
Lacks the social
skills or initiative to guide peers’ play and make play suggestions[14]
|
Seperti yang
ditunjukkan dalam tabel, karakteristik dominan anak terlantar adalah perilaku
isolasi. Mereka cenderung menyendiri dan jarang melakukan kontak dengan teman
lainnya. Selain itu, mereka sering menghindar ketikaada sebuah inisiatif
diarahkan pada mereka. Mayoritas anak dengan karakteristik ini adalah anak yang
pemalu. Mereka juga tidak memiliki keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk
masuk ke dalam kelompok bermain ataupun untuk menarik perhatian dari
teman-teman mereka. Mereka sering mengalami kesulitan untuk meyakinkan orang
lain. Beberapa studi telah menemukan bahwa anak-anak terlantar menderita
sedikit kerugian emosional dari statusnya “tak terlihat” diantara teman-temannya.
Kelompok sangat
berpengaruh pada perkembangan sosial anak. Kelompok termasuk teman sebaya
secara ekstensif memberi imbalan dan menghukum perilaku gender. Misalnya,
ketika anak-anak bermain dengan cara yang ,menurut budaya adalah sesuai gender,
teman sebaya mereka cenderung menghargai mereka. Namun, teman sebaya sering
menolak anak yang bertindak dengan cara yang dianggap lebih merupakan
karakteristik gender lain (Matlin, 2008).
Ada beberapa hal
yang bisa dilatihkan kepada anak untuk mengembangkan kemampuan sosialnya. Daniel
Goleman (dalam Azzet) menyampaikan bahwa ada
empat ketrampilan dasar yang harus dikembangkan dalam kehidupan social diantaranya :
a.
Mengorganisasi kelompok
Setiap
pribadi adalah pemimpin, dan sudah menjadi faktor yang utama sebagai seorang
pemimpin bisa mengorganisasi sebuah kelompok. Unsur kepemimpinan ini perlu
ditanamkan pada anak sejak dini agar anak juga memiliki kemampuan dalam
mengorganisasi kelompok minimal dalam sebuah kelompok kecil di lingkungan
sosialnya atau paling tidak dalam lingkungan keluarganya. Dalam hal ini orang
tua mempunyai peranan yang penting dalam mengembangkan ketrampilan dasar sosial
anak termasuk mengorganisasi kelompok.
Orang
tua merupakan sosok penting dalam mengembangkan ketrampilan dasar dalam kehidupan sosial anak dikarenakan lingkungan
keluarga merupakan lingkup pertama anak belajar berbagai macam hal. Melatih
anak dalam mengorganisasi kelompok bisa dilakukan dalam bentuk permainan
tertentu yang juga bisa melibatkan teman-temannya. Permainan bisa dilakukan di
halam rumah, lapangan ataupun tempat yang biasa digunakan anak-anak untuk
bermain.
Sebagai
contoh membuat acara bakar tempe. Anak-anak dapat berbagi tugas dengan
teman-temannya. Semua kegiatan sepenuhnya diserahkan kepada anak-anak termasuk
masalah masing-masing anak harus iuran berapa, berbagi tugas untuk belanja,
menggoreng tempe, membuat bumbu sate, membakar sate, dan sebagainya. Orang tuanya
bertugas untuk mendampingi dan hal yang terpenting yaitu memberikan sebuah
kepercayaan kepada anak-anak untuk bisa mengelola dan mengorganisasi
kelompoknya sendiri. Meski posisi orang tua hanya mendampingi, tidak menutup
kemungkinan juga dalam hal-hal tertentu untuk memberi ide dan saran, namun usahakan
jangan terlalu mendominasi agar anak juga belajar untuk melatih kemandiriannya.
b. Merundingkan
pemecahan masalah
Tidak
jarang ada dua orang atau kelompok yang bersitegang untuk mempertahankan
pendapat masing-masing, sehingga diperlukan kehadiran sebuah mediator yang baik
untuk menyelesaikan masalah. Kondisi di atas tidak hanya terjadi dalam
kehidupan orang dewasa, tetapi juga terjadi pada dunia anak-anak. Kehidupan
anak-anak tentunya tidak lepas dari saling membantah ketika terjadi masalah dalam
permainannya. Hal semacam ini dianggap wajar karena anak mempunyai cara
berpikirnya sendiri.
Poin
terpenting adalah bagaimana anak-anak menyelesaikan bantahan-bantahan tersebut,
bukan dengan adu fisik atau adu bentakan melainkan dengan cara mencari akar
masalah terjadinya perselisihan kemudian merundingkan masalah dengan baik.
Kemampuan
untuk bisa merundingkan pemecahan masalah dengan baik tidak muncul begitu saja
dari individu seseorang. Kemampuan tersebut merupakan hasil latihan yang
panjang dari proses kehidupannya. Sebagai orang tua bisa memberikan stimulasi
kepada anak misalnya dalam kehidupan sehari-hari, ketika menonton televisi
bersama anak-anak dan melihat tayangan tentang perkelahian dua kelompok
masyarakat, orang tua dapat mengajak diskusi anak mengenai berita tersebut.
c. Menjalin
hubungan
Menjalin
hubungan dengan orang lain merupakan faktor penting dalam ketrampilan sosial, mengingat
manusia merupakan makhluk sosial yaitu makhluk yang kehidupannya bergantung
pada manusia lainnya. Oleh karena itu, sudah semestinya orang tua memberi
teladan kepada anak-anaknya untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain.
Hal
yang perlu ditekankan dalam mengajarkan anak-anak tentang menjalin hubungan
yakni menjalin hubungan dengan orang lain tidak hanya dilakukan saat kita butuh
sedangkan sewaktu kita tidak butuh lantas bersikap cuek dan acuh. Menjalin
hubungan hendaknya terus dijalin tanpa melihat kondisi butuh atau tidak.
Untuk
melatih anak memiliki kemampuan menjalin hubungan bisa dengan mengajak anak
untuk berkeliling ke rumah-rumah saudara agar anak bisa lebih mengenal sanak
saudara yang dimilikinya. Atau dengan memberi salam dan sapa ketika bertemu
dengan orang lain di jalan. Hal ini mungkin akan terlihat sepele, namun
sesungguhnya akan berpengaruh besar bagi ketrampilan sosialnya.
d. Menganalisis
sosial
Kemampuan
untuk memahami perasaan atau suasana hati orang lain merupakan penjabaran dari
kemampuan menganalisis sosial. Ketika seseorang sudah mampu menjalin hubungan
yang baik dengan orang lain, maka dibutuhkan kemampuan untuk memahami perasaan
agar hubungan yang terjalin menjadi akrab dan menyenangkan.
Sebagai
orang tua kiranya perlu untuk mengembangkan kemampuan ini pada anak-anak. Orang
tua bisa melatih anak-anak untuk belajar bagaimana memahami masalah, suasana
hati dan ekspresi orang lain. Ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan untuk
melatih kepekaan dalam menganalisis tersebut misalnya dengan membiasakan anak
untuk mengucapkan selamat kepada teman yang mendapat kegembiraan (naik kelas,
ulang tahun, memenangkan sebuah perlombaan, dan sebagainya).
Sebaliknya,
biasakan anak-anak untuk memberikan ucapan prihatin atau berbelasungkawa ketika
teman atau saudara sedang mengalami musibah. Misalnya dengan mengajak anak
untuk menjenguk temannya yang sakit atau berkunjung pada keluarga yang
meninggal. Dengan demikian anak akan belajar banyak situasi yang memunculkan
berbagai ekspresi dari hubungan sosial.[15]
Disisi
lain, Lawrence E. Saphiro menambahkan lima ketrampilan sosial yang bisa
dilatihkan pada anak agar anak mempunyai kecerdasan sosial yang baik seperti
yang tertuang dalam bukunya yang berjudul How to Raise a Child with a High EQ. Lima
ketrampilan tersebut diantaranya :
a. Ketrampilan
berkomunikasi
Ketrampilan
berkomunikasi perlu dilatih dengan baik pada anak karena hal ini merupakan
bekal utama dalam menjalin sebuah hubungan sosial. Kemampuan berkomunikasi
bukan hanya ketrampilan berbicara, namun juga mampu menyampaikan dengan baik
sekaligus mampu memahami dan memberi respon kepada orang yang diajak
berkomunikasi.
Ketrampilan
ini bisa dilatihkan kepada anak dengan cara mengajak anak untuk berdiskusi
tentang apa yang dirasakannya, misalnya ketika pulang sekolah, anak diajak
untuk menceritakan pengalamannya di sekolah. Hal lain misalnya dengan menyuruh
anak untuk mengutarakan alasan ketika anak meminta sesuatu. Atau juga bisa
dengan mengajak anak menggambarkan situasi di lingkungan sekitar saat terjadi
kecelakaan, hal ini berguna untuk melatih tingkat kepekaan serta rasa empati
anak.
b. Ketrampilan
membuat humor
Mayoritas
mengakui bahwa humor adalah salah satu faktor penyebab hangatnya jalinan
komunikasi. Humor tidak selalu harus membuat tertawa, cukup membuat tersenyum
saja maka akan membuat suasana hubungan menjadi lebih lekat dan terasa ringan
di hati.
Melatih
ketrampilan membuat humor bisa dimulai sejak usia dini. Hal tersebut bisa
dilakukan dengan beberapa kegiatan misalkan bermain “cilukba”. Ketika bermain
“cilukba”, secara spontan anak akan tertawa. Meskipun permainan ini nampak
sepele, namun hal ini sudah merupakan hal yang lucu pada anak. Contoh lain
ketika orang tua meletakkan dua kaos kaki di masing-masing telinganya sehingga
anak akan tertawa. Ketika anak sudah mengenal berbagai hal yang membuatnya
merasa lucu, maka ia akan belajar membuat humor sendiri.
c. Ketrampilan
menjalin persahabatan
Ketika
anak memasuki usia 7 atau 8 tahun biasanya anak mulai menjauh dari pengaruh
orang tua. Hal ini dirasa wajar karena anak mulai mendapat beberapa teman baru
di sekolah atau lingkungan sosialnya. Pada fase ini, anak ingin mendapatkan
perhatian, persetujuan serta dukungan dari teman-temannya. Melihat hal tersebut
tentunya orang tua tidak boleh tinggal diam. Disini peran orang tua dibutuhkan
untuk melatihkan ketrampilan dalam menjalin persahabatan.
Hal
yang paling mendasar yang harus diajarkan adalah memahami kebutuhan orang lain
sebagaimana kita mempunyai kebutuhan sendiri. Misalkan jika kita senang
didengarkan, maka kita juga harus terbiasa untuk mendengarkan orang lain. Jika
merasa sakit hati ketika diledek, maka jangan pernah meledek orang lain. Hal
lain yang tak kalah penting yaitu konsep berbagi. Ajari anak untuk selalu
berbagi jika mempunyai barang atau makanan yang lebih, namun jika teman yang
lain menolak pemberian maka jangan dipaksa. Atau bisa juga dengan mengajari
anak untuk meminjamkan mainan barunya kepada teman yang lain, karena bukan hal
mudah untuk menanamkan nilai berbagi pada anak.
Hal
terakhir yang utama dalam menjalin persahabatan yakni tidak boleh memilih-milih
teman. Bersahabat bukan berarti hanya berteman dengan satu teman lalu
mengabaikan teman yang lain. Namun, persahabatan yang baik adalah menjalin
hubungan dengan banyak teman sehingga pergaulan pun akan menjadi semakin luas.
d. Ketrampilan
berperan dalam kelompok
Ketika
anak sudah mulai mengenal dunia pergaulan, anak akan senang bila mempunyai
kelompok. Ada anggapan bahwa dengan bergabung dengan sebuah kelompok,
kepercayaan diri anak akan meningkat. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam
memperhatikan anak beserta kelompoknya. Meski terbilang kelompok kecil,
biasanya selalu ada kelompok atau geng pengganggu di sekolah dimana kelompok
tersebut cenderung berbuat hal yang tidak baik atau bahkan berbuat kriminal
seperti memalak uang teman-temannya.
Disinilah
pentingnya orang tua untuk melatih anaknya agar berperan dalam sebuah kelompok.
Hal mendasar yang perlu dilatihkan dalam berperan yaitu berani mengemukakan
pendapat. Tidak dipungkiri jika dalam sebuah kelompok biasanya dianggap
mempunyai peran yang penting jika sering mengutarakan pendapat, tentunya orang
tua hendaknya mengarahkan anak untuk selalu berpendapat positif sehingga bisa
ditularkan kepada teman-teman yang lainnya.
Jika
anak trampil dalam menyampaikan pendapat, maka secara tidak langsung anak akan
mengasah kepercayaan dirinya dengan baik. Sementara kepercayaan diri merupakan
modal penting agar seseorang bisa berperan dalam kelompok sosialnya.
e. Ketrampilan
bersopan santun dalam pergaulan
Sangat
penting bagi orang tua untuk mengajarkan ketrampilan bersopan satun dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini perlu dilakukan mengingat orang-orang yang
selalu santun dan bertatakrama baik akan mendapatkan nilai dan tempat yang baik
dalam sebuah pergaulan.
Ada
beberapa hal yang bisa diajarkan anak untuk bersopan santun misalnya dengan
mengajak anak untuk menyapa bila bertemu atau berpapasan dengan orang lain.
Meski tidak harus menyapa, bisa dalam bentuk lain seperti tersenyum, bilang
permisi atau setidaknya menunjukkan gestur atau mimik bahwa kita menyapa. Atau
contoh lain dengan mengajarkan anak berbicara dengan nada sewajarnya, tidak
membentak dan menggunakan nada yang tinggi.
Jika
anak sopan dan mendapatkan tempat yang baik di pergaulannya, maka anak lebih
mudah untuk membangun relasi atau jalinan sosialnya. Namun hal yang perlu
ditekankan kepada anak adalah bersikap sopan santun hendaknya didasari dari
hati yang tulus, bukan sekedar basa basi untuk mendapatkan tempat di hati orang
lain ataupun lingkungan sosialnya.[16]
2. Kegiatan
Pembelajaran Tema Individu, Kelompok, dan Lembaga dalam Studi Sosial
Ruang kelas di TK
dibuat sedemikian rupa agar anak-anak bisa menerima tanggung jawab untuk
membereskan mainan, alat tulis, alat makan, alat musik, membersihkan tempat
sesudah bermain, membuang sampah pada tempatnya, merawat tanaman milik
kelompok, dll. Disini anak diberi tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Sesudah
anak-anak mampu menerima tanggung jawab untuk dirinya sendiri anak diminta
untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar untuk orang lain.
Sebagai contoh,
dengan kegiatan immersion play di
luar ruangan (outdoor), disini
anak-anak secara berkelompok akan menentukan sendiri permainan dan peraturan
apa yang disepakati dalam kelompok mereka.
Menurut Seefeldt
& Galper (2000) anak-anak bisa diajarkan dalam kegiatan memungut suara (voting). Misalnya anak-anak bisa
menyampaikan pendapatnya (memberikan suara) untuk makanan kecil yang mereka
suka. Misalnya disini ada yang suka vanilla mereka berkumpul dengan sesama
penyuka vanilla begitu juga yang suka yogurt
strawberry mereka berkumpul dengan penyuka yogurt strawberry. Selain itu, mereka juga bisa memberikan suara
mereka tentang buku yang mereka sukai, game
yang ingin dimainkan, atau nyanyian yang ingin dinyanyikan.[17]
Setelah mereka berkumpul dengan kelompoknya mereka berdiskusi tentang apa yang
ingin mereka lakukan bersama kelompoknya.
Anak-anak belajar di
tempat mereka hidup. Tidak masalah apakah anak-anak mempunyai atau tidak
mempunyai keterampilan sosial. Yang paling penting disini adalah penerimaan
keterampilan-keterampilan yang benar-benar mereka miliki dan kemampuan para
guru untuk menggunakan ini sebagai fondasi tempat dibangunnya keterampilan
social yang semakin rumit. Anak-anak yang hidup dengan kasih sayang akan mampu
menjalin persahabatan kasih sayang akan mampu menjalin persahabatan kasih sayang.
Dan jika mereka hidup di sebuah ruang kelas yang demokratis, maka mereka akan
belajar keterampilan bekerja sama dan berpartisipasi dalam sebuah demokrasi.
[1]
DoDEA
SOCIAL STUDI STANDARDS PK-GRADE 12. Essensial
Academic Content Knowledge Accros the Social Studies Continuum. www. dodea.
edu/. 2009, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 pukul 09.45 WIB.
[2] Ali Nugraha, dkk. Kurikulum dan Bahan Belajar TK (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2005), h. 1.2
[3] LH. Jackman, Early Education Curriculum A Child’s
Connection to The World (USA: Wadsworth, 2012), h. 35
[4] C. Getswicki, Developmentally Appropriate Practice
Curriculum and Development in Early Education (Canada: Thomson, 2007), h.
67
[5] Yuliani Nurani Sujiono, op. cit., h. 199.
[6] Ibid.,
[7] Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[8] Ali Nugraha, op. cit., h. 1.5
[9] Yuliani Nurani Sujiono, op. cit., h. 214
[10] Carol Seefeldt & Barbara A.
Wasik, Pendidikan Anak Usia Dini
Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat, Lima Tahun Masuk Sekolah ( Jakarta: PT.
Indeks, 2008), h. 448
[12] Smith dan
Jeffrey Trawick, Early Childhood
Development A Multicultural Perspective Third Edition. (Ohio: Nerril
Prentice Hall, 2003), h. 292
[13] Ibid., h. 294
[14] Ibid., h. 296
[15] Akhmad Muhaimin Azzet, Mengembangkan Kecerdasan Sosial Bagi Anak,
(Jogjakarta: Kata Hati, 2010), h. 48
[16] Ibid., h. 70
[17] Ibid., h. 462
DAFTAR
PUSTAKA
Azzet,
Akhmad Muhaimin. 2010. Mengembangkan
Kecerdasan Sosial Bagi Anak. Yogyakarta: Kata Hati
DODEA
SOCIAL STUDI STANDARDS PK-GRADE 12. 2009. Essensial
Academic Content Knowledge Accros the Social Studies Continuum. www. dodea.
edu/. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 pukul 09.45 WIB.
Eliyawati,
Cucu. 2005 Pemilihan dan Pengembangan
Sumber Belajar Untuk Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Gestwicki,
C. 2007. Developmantally Appropriate
Practice Curriculun and Development in Early Education. Canada: Thomson
Hurlock,
Elizabeth B. 2003. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga
Jackman,
L.H. (2012). Early Education Curriculum A
Child’s Connection to The World. USA: Wadsworth
Nugraha, Ali,
dkk. 2005. Kurikulum dan Bahan Belajar TK
. Jakarta: Universitas Terbuka.
Seefeldt
& Wasik. Pendidikan
Anak Usia Dini Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat, Lima Tahun Masuk Sekolah (
Jakarta: PT. Indeks, 2008),
Smith,
dan Trawick Jeffrey. 2003. Early
Childhood Development A Multicultural Perspective Third Edition. Ohio:
Nerril Prentice Hall
Sujiono,
Yuliani Nurani. 2009. Konsep Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks
Yulianti,
Dwi. 2010. Bermain Sambil Belajar Sains
di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Indeks
Komentar
Posting Komentar