A.
BATANG
TUBUH PERKEMBANGAN MORAL
1. Definisi
Kata
moral berasal dari
bahasa Latin mos
(jamak mores)
yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang (Rogers &
Baron, dalam Martini,1995). Berns (1997) mengemukakan bahwa moralitas mencakup mematuhi
aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari dan conscience atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Chaplin (2006) moral mengacu pada akhlak yang sesuai
dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang
mengatur tingkah laku. Senada dengan pernyataan tersebut Hurlock (1990) berpendapat
bahwa moral
adalah tata cara, kebiasaan, dan adat peraturan perilaku yang telah menjadi
kebiasaan bagi anggota suatu budaya.
Moral
secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi
individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral
dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki
moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat
dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika
ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Dalam kamus
filsafat terdapat beberapa pengertian dan arti moral yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Memiliki: Kemampuan untuk diarahkan oleh (dipengaruhi oleh) keinsyafan
benar atau salah; Kemampuan untuk mengarahkan (mempengaruhi) orang lain sesuai
dengan kaidah-kaidah perilaku nilai benar dan salah.
2.
Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam berhubungan dengan orang
lain.
3.
Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dipandang baik atau buruk, benar atau
salah, tepat atau tidak tepat.
4.
Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima, menyangkut apa yang dianggap
benar, baik, adil dan pantas.
Berdasarkan pendapat para ahli di
atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah segala aturan, tata cara baik
internal maupun eksternal yang telah menjadi kebiasaan anggota suatu budaya.
Kohlberg (dalam
Glover, 1997), mendefinisikan perkembangan moral
sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat
individu dalam melakukan suatu tindakan. Perkembangan moral
dapat dijadikan prediktor
terhadap dilakukannya tindakan
tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini
sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Rest
(1979) bahwa perkembangan moral
adalah
konsep dasar yang dimiliki
individu untuk menganalisa masalah
sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya.
Menurut Kohlberg (1981) penalaran moral adalah suatau pemikiran tentang
masalah moral. Penalaran moral merupakan dasar perkembangan moral. Pemikiran itu merupakan
prinsip yang dipakai
dalam menilai dan melakukan suatu tindakan
dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai
suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai
isi, maka sesuatu
dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan
sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral
dilihat
sebagai struktur, maka apa yang baik dan
buruk terkait dengan
prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari
tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan
penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi
penjelasan dari pada memperhatikan
perilaku seseorang atau bahkan
mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa penilaian moral merupakan kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu
terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
2.
Konsep Utama
a.
Tahapan Perkembangan Moral
Dengan
mengetahui tahap perkembangannya, akan diketahui bagaimana memberikan langkah
strategi pendidikan moral secara tepat terhadap individu.
1)
Tahapan Perkembangan
Moral Piaget
a)
Moralitas heteronom
”realisme moral”
atau moralitas paksaan”: heteronom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan
orang lain. Aturan dipandang sebagai ketentuan yang tidak fleksibel, asal dan
wewenangnya dari luar. Tidak terbuka akan negosiasi dan benar hanya berarti
ketaatan harafiah terhadap orang dewasa dan aturan. (Slavin, 2011: 68-69). Contoh:
Anak-anak dihadapkan pada orang tua atau orang dewasa lain yang memberitahukan
kepada mereka apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Pelanggaran atas peraturan akan akan diberikan otomatis dan orang yang jahat
pada akhirnya akan dihukum.
b)
Moralitas Otonom
“moralitas kerjasama”
(10-11 tahun): aturan sebagai produk kesepakatan bersama, terbuka pada
negosiasi ulang, dijadikan sah melalui penerimaan pribadi dan persetujuan
bersama dan benar berarti bertindak sesuai dengan ketentuan kerja sama dan
sikap saling menghormati.(slavin, 2011: 68-69). Contoh: ketika dunia sosial
anak meluas hingga meliput memiliki banyak teman sebaya. Dengan terus menerus
berinteraksi dengan orang lain, gagasan anak tersebut tentang aturan dan karena
itu moralitas juga akhirnya mulai berubah.kini aturan apa yang kita buat.
Hukuman atas pelanggaran tidak lagi otomatis melainkan melalui pertimbangan
maksud pelanggar dan lingkungan yang meringankan.
2)
Tahap-tahap Penalaran
Moral Menurut Kohlberg
Ketika
orang mempertimbangkan dilema moral, penalaran mereka sendirilah yang berperan
penting, bukan keputusan akhir mereka, menurut lawrence Kohlberg. Dia mempunyai
teori bahwa orang melewati tiga tingkat ketika mereka mengembangkan kemampuan
penalaran moral.
I.
Tingkat
Prakonvensi
|
II.
Tingkat
Konvensi
|
III.
Tingkat
Pasca-konvensi
|
Aturan
durumuskan orang lain
|
Individu
menganut aturan dan kadang-kadang menomorduakan kebutuhan diri sendiri tanpa
peduli pada konsekuensinya yang langsung dan tampak jelas
|
Orang
mendefinisikan nilai-nilainya sendiri berdasarkan prinsip etika yang telah
mereka pilih untuk diikuti.
|
Stadium 1:
orientasi Hukum dan ketaatan.
Konsekuensi
fisik tindakan menentukan kebaikan dan keburukannya.
|
Stadium 3: Orientasi “Anak
Baik”.
Berdasarkan
kerja sama dengan teman sebayayaitu tahap dimana anak-anak mempunyai
keyakinan yang tidak dapat dipertanyakan. Karena kurangnya egosentrisme yang
menyertai kegiatan kongkret, anak sanggup menempatkan diri kedalam keadaan
orang lain.
|
Stadium 5: Orientasi kontrak
sosial.
Apa
yang benarditentukan berdasarkan hak-hak individu umum dan berdasar standar
yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat hukum dipandang perlu untuk
mempertahnkan tatanan sosialdan untuk memastikan ha-hak dasar kehidupan dan
kebebasan.
|
Stadium 2: orientasi
Relativis Instrumental.
Apa
yang benar adalah apa saja yang memuaskan kebutuhan diri
sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Unsur-unsur keadilan dan
ketimbalbalikan ada, tetapi kebanyakan ditafsirkan dalam bentuk “anda
menggaruk punggung saya dan saya akan menggaruk punggung anda
|
Stadium 4: Orientasi
“Hukuman dan Keteraturan”.
Benar
berarti melakukan kewajiban seseorang, dengan memperlihatkan sikap hormat
kepada oarang yang berwenang dan memepertahankan tatanan sosial tertentu bagi
dirinya. Peraturan dan hukum masyarakat menggantikan peraturan dalam hukum
kelompok teman sebaya
|
Stadium 6: Orientasi prinsip
etika universal.
Apa
yang benar ditentukan dengan suara hati menurut prinsip etikayang dipilih
pribadi. Prinsip ini abstrak dan etis, bukan ketentuan moral spesifik.
Seperti keadilan, kesetaraan, dan nilai hak asasi manusia. Hukum yang
melanggar prinsip-prinsip inidapat dan seharusnya tidak ditaati karena
“keadilan berada diatas hukum”.
|
Dalam teori Kohlberg tentang
penalaran moral, situasi hipotesis yang menuntut orang mempertimbangkan
nilai-nilai yang benar dan salah. Pada tingkap moralitas prakonvensi yaitu
tahap 1 dan 2 dimana orang melakukan penilaian moral demi kepentingannya
sendiri. Pada tingkat
moralitas konvensi yaitu tahap 3 dan 4 dimana orang melakukan penilaian moral
dengan mempertimbangkan orang lain. Pada tingkat moralitas pasca-konvensi yaitu
tahap 5-6 diman orang melakukan penilaian moral berdasarkan prinsip-prinsip
yang abstrak.
Nilai-nilai moral itu tersendiri tidak
dapat terlepas dari keagamaan seseorang, karena setiap manusia berlandaskan dan
bergantung pada suatu agama tertentu untuk
dapat mengontrol dan
mengatur kehidupannya di dunia. Perkembangan Piaget dan Kohlberg baru menyentuh
dimensi moral secara umum, dan belum menyentuh pada wilayah agama secara
khusus, terlebih lagi perkembangan keagamaan pada anak. Teori piaget juga
diikuti oleh David Elkind yang mengembangkan teori Piaget kedalam pola
perkembangan keagamaan pada anak. Elkind menyatakan bahwa terdapat 4 tipe:
1)
Pencarian untuk
Konversi; anak-anak menganggap hidup adalah abadi
2)
Pencarian Representasi; dimulai
pada masa prasekolah, gambaran mental dan perkembangan bahasa
3)
Pencarian Relasi
(pertengahan anak-anak); anak-anak sudah mengalami kematangan mental, sehingga
mereka merasakan hubungan dengan Tuhan
4)
Pencarian tentang
Pemahaman (anak-anak tumbuh dewasa); mereka semata-mata menyerap jalinan
persahabatan dan perkembangan untuk berteori. (Suyadi, 2009: 132-133).
Dari
keemapat fase tersebut, Elkind menyimpulkan bahwa fase perkembangan keagamaan
dari janin hingga dewasa sesuai dengan kemunculan 4 kebutuhan kognitif dan
masing-masing tahapan mempunyai salah satu aspek beragama.
3)
Perkembangan Moral
Menurut Piaget dan Kohlberg
a)
Perkembangan Moral Pada Masa Bayi (Permulaan Moralitas)
Bayi tidak memiliki hierarki nilai dan suara hati.
Bayi tergolong nonmoral, tidak bermoral
maupun tidak amoral yang dalam artian bahwa perilakunya tidak
dibimbingnorma-norma moral. Lambat laun ia akan mempelajari kode moral dari
orang tua dan kemudian guru-guru dan teman-teman bermain dan ia juga belajar
pentingnya mengikuti kode-kode moral tersebut. Belajar berperilaku moral yang
diterima oleh sekitarnya merupakan proses yang lama dan lambat. Tetapi
dasar-dasarnya diletakkan pada masa bayi dan berdasarkan dasar-dasar inilah
bayi membangun kode-kode moral yang membimbing perilakunya bila telah menjadi
besar nanti.
Karena keterbatasan kecerdasannya, bayi menilai
benar atau salahnya tindakan menurut kesenangan atau kesakitan yang ditimbulkan
dan bukan berdasarkan pada baik atau buruknya efek suatu tindakan terhadap
orang-orang lain. Bayi menganggap tindakan salah apabila ia mengalami akibat
buruknya. Bayi tidak memiliki rasa bersalah karena kurang memiliki norma yang
pasti tentang benar atau salah.
Menurut Piaget, bayi berada pada tahapan
perkembangan moral yang disebut dengan moralitas
dengan paksaan yang merupakan tahapan pertama dari tiga tahapan
perkembangan moral. Tahapan ini berakhir sampai usia tujuh atau delapan tahun
dan ditandai oleh kepatuhan otomatis kepada aturan-aturan tanpa penalaran dan
penilaian.
b)
Perkembangan Moral Pada Awal Masa Kanak-Kanak
Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih
dalam tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena perkembangan intelektual
anak-anak belum mencapai titik dimana ia dapat mempelajari atau menerapkan
prinsip-prinsip abstrak tentang benar dan salah. Ia juga tidak memiliki
dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan karena tidak mengerti manfaatnya
sebagai anggota kelompk sosial. Karena tidak mengerti masalah standar moral,
anak-anak harus belajar berperilaku moral dalam berbagai situasi yang khusus.
Ia hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa. Karena ingatan
anak-anak cenderung kurang baik maka belajar bagaimana berperilaku sosial yang
baik merupakan merupakan proses yang panjang dan sulit. Anak-anak dilarang
melakukan sesuatu pada suatu hari, tetapi keesokan hari atau dua hari
sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi anggapan orang dewasa sebagai tindakan yang
patuh seringkali hanya merupakan masalah lupa.
Awal masa kanak-kanak ditandai dengan apa yang oleh
Piaget sebut sebagai “Moralitas melalui paksaan”. Dalam tahap perkembangan
moral ini anak-anak secara otomatis mengikuti peraturan-peraturan tanpa
berfikir atau menilai dan menganggap orang-orang dewasa yang berkuasa sebagai
maha kuasa. Ia juga menilai semua perbuatan benar atai salah berdasarkan
akibat-akibatnya dan bukan berdasarkan motivasi yang mendasarinya. Menurut
sudut pandang anak-anak, perbuatan yang salah adalah yang mengakibatkan
hukuman, baik oleh orang lain maupun oleh faktor-faktor alam atau gaib.
Kohlberg memperinci dan memperluas tahapan-tahapan
perkembangan moral Piaget dengan memasukkan dua tahapan dari tingkat
perkembangan pertama ini yang disebutnya sebagai “Moralitas Prakonvensional”.
Dalam tahapan pertama, anak-anak berorientasi patuh dan hukuman dalam arti ia menilai
benar dan salahnya perbuatan berdasarkan akibat-akibat fisik dari perbuatan
itu. Dalam tahap kedua anak-anak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar
memperoleh pujian.
Dengan berakhirnya awal masa kanak-kanak, kebiasaan
untuk patuh harus dibentuk agar anak-anak mempunyai disiplin yang konsisten.
Anak-anak belum mengembangkan hati nurani sehingga ia tidak merasa bersalah
atau malu bila melakukan sesuatu yang diketahui sebagai sesuatu yang salah,
sehingga anak-anak banyak yang takut dihukum atau berusaha membenarkan
perbuatannya untuk menghindari hukuman.
c)
Sikap Dan Perilaku Moral Akhir Masa Kanak-Kanak
Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep
moral anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya. Anak yang lebih besar
lambat laun memperluas konsep sosial sehingga mencakup situasi apa saja, lebih
dari pada hanya situasi khusus. Disamping itu, anak yang lebih besar menemukan
bahwa sekelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada
berbagai macam perbuatan. Pengetahuan ini kemudian digabungkan dalam konsep
moral.
Menurut Piaget, antara usia lima dan dua belas
tahun, konsep anak mengenai keadilan sudah berubah. Pengertian yang kaku dan
keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua menjadi berubah
dan anak memperhitungkan keadaan-keadaan khusus diskeitar pelanggaran moral.
Jadi, menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya,
bagi anak lima tahun berbohong selalu buruk, sedangkan anka yang lebih besar
sadar bahwa dalam beberapa situasi berbohong dibenarkan dan oleh karena itu
berbohong tidak selalu buruk.
Kohlberg memperluas teori Piaget dan menamakan
tingkat kedua dari perkembangan moral akhir masa kanak-kanak sebagai tingkat
“Moralitas Konvensional” atau moralitas dari aturan-aturan dan penyesuaian
konvensional. Dalam tahapan pertama dari tingkatan ini yang oleh Kohlberg
disebut “Moralitas Anak Baik”, anak mengikuti peraturan untuk mengambil hati
orang lain dan untuk mempertahankan hubungan-hubungan yang baik. Dalam tahapan
kedua, Kohlberg mengatakan bahwa kalau sekelompok sosial menerima
peraturan-peraturan yang sesuai bagi semua anggota kelompok, ia harus
menyesuaikan diri dengan peraturan untuk menghindari penolakan kelompok dan
celaan.
·
Perkembangan Kode Moral
Kode moral berkembang dari konsep-konsep moral yang
umum. Pada akhir masa kanak-kanak seperti hanlnya awal masa remaja, kode moral
sangat dipengaruhi oleh standar moral dari kelompok dimana mengidentifikasikan
diri. Ini tidak berarti bahwa anak meninggalkan kode moral keluarga untuk
mengikuti kode sekelompok tempat ia bergabung. Hal ini berarti jika anak harus
memilih, anak akan mengikuti standar-standar geng selama mereka bermain dengan
geng sebagai sarana untuk mempertahankan statusnya dalam geng.
Ketika anak mencapai masa akhir kanak-kanak, kode
moral berangsur-angsur mendekati kode moral dewasa sehingga anak berperilaku
dan berhubungan semakin sesuai dengan standar-standar yang ditetapkan oleh
orang dewasa. Anak yang memiliki IQ tinggi cenderung lebih matang dalam penilaian
moral daripada anak yang tingkat kecerdasannya rendah, dan anak perempuan
cenderung membentuk penilaian moral yang lebih matang dari pada anak laki-laki.
·
Peranan Disiplin Dalam Perkembangan Moral
Disiplin berperan penting dalam perkembangan kode
moral. Meskipun anak memerlukan dispilin, disiplin merupakan masalah yang
serius bagi anak yang lebih besar. Penggunaan secara kontinu teknik-teknik
disiplin yang ternyata efektif ketika anak masih kecil, cenderung menyebabkan
kebencian bagi anak yang lebih besar. Kalau disiplin dibutuhkan dalam
perkembangan, haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
d)
Perubahan Moral Pada Masa Remaja
Salah satu tugas perkembangan penting yang harus
dukuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari
padanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan
sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukuman seperti
yang dialami pada waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep
moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku
umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman
bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan
perilakunya sendiri yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan tetaplah
mencapai apa yang oleh Piaget disebut “Tahap Pelaksanaan Formal” dalam
kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan
untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan
suatu hipotesis atau proposisi. Jadi, ia dapat memandang masalahnya dari
beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor
sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga,
“Moralitas Pancakonvensional (Postconventional
morallity)” harus dicapai selama masa remaja. Tahap ini merupakan tahap
menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap
pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral
sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar moral apabila hal
ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap
kesua individu menyesuaikan diri dengan standar sosial dan ideal yang
diinternalisasikan lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri
daripada sensor sosial. Dalam tahapan ini, moralitas didasarkan pada rasa
hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Sekalipun dengan dasar yang terbaik, ketiga tugas
pokok dalam mencapai moralitas dewasa yaitu mengganti konsep moral khusus
dengan konsep moral umum, merumuskan konsep yang baru dikembangkan ke dalam
kode moral sebagai pedoman perilaku dan melakukan pengendalian terhadap
perilaku sendiri merupakan tugas yang sulit bagi kebanyakan remaja. Beberapa
remaja tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa
selama masa remaja dan tugas ini harus diselesaikan pada awal masa dewasa. Remaja
lainnya tidak hanya gagal melakukan peralihan tetapi juga membentuk kode moral
berdasarkan konsep moral yang secara sosial tidak dapat diterima.
·
Perubahan Konsep Moral
Ada dua kondisi yang membuat penggantian konsep
moral khusus ke dalam konsep yang berlaku umum tentang benar atau salah yang
lebih sulit daripada yang seharusnya. Pertama, kurangnya bimbingan dalam
mempelajari bagaimana membuat konsep khusus berlaku umum. Dengan percaya saja
bahwa remaja telah mempelajari prinsip pokok tentang benar dan salah, orang tua
dan guru jarang menekankan dalam usaha pembinaan remaja untuk melihat hubungan
antara prinsip khusus yang dipelajari sebelumnya dengan prinsip umum yang
penting untuk mengendalikan perilaku dalam kehidupan orang dewasa. Hanya dalam
bidang baru perilaku, seperti hubungan dengan anggota lawan jenis, orang dewasa
merasa perlu memberikan pendidikan moral lebih lanjut.
Kondisi kedua yang membuat sulitnya penggantian
konsep moral yang berlaku khusus dengan konsep moral yang berlaku umum berhubungan
dengan jenis disiplin yang diterapkan di rumah dan di sekolah. Karena orang tua
dna guru mengasumsikan bahwa remaja mengetahui apa yang benar, maka penekanan
kedisiplinan hanya terletak pada pemberian hukuman pada perilaku salah yang
dianggap sengaja dilakukan. Penjelasan mengenai alasan salah tidaknya suatu
perilaku jarang ditekankan dan bahkan jarang memberi ganjaran bagi remaja yang
berperilaku benar.
·
Pembentukan Kode Moral
Ketika memasuki masa remaja, anak-anak tidak lagi
begitu saja menerima kode moral dari orang tua, guru bahkan teman-teman sebaya.
Sekarang ia sendiri ingin membentuk kode moral sendiri berdasarkan konsep
tentang benar atau salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar sesuai dengan
tingkata perkembangan yang lebih matang dan yang telah dilengkapi dengan
hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orang tua dan gurunya.
Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan pengetahuan yang
diperoleh dari pelajaran agama.
Pembentukan kode moral terasa lebih sulit bagi
remaja karena ketidakkonsistenan membuat remaja bingung dan terhalang dalam
proses pembentukan kode moralyang tidak hanya memuaskan tetapi akan
membimbingnya untuk memperoleh dukungan sosial. Cepat atau lambat sebagian
remaja akan mengerti, misalnya dari teman-teman yang berlatarbelakang
sosioekonomi, agama tau ras yang berbeda memiliki kode yang berbeda tentang
benar dan salah; bahwa kode orang tua dan gurunya seringkali lebih ketat
daripada kode teman sebaya; dan sekalipun terdapat perincian peran seks
tradisional yang disetujui tetapi masih tetap ada standar ganda yang jauh lebih
lunak bagi laki-laki dan perempuan.
Bagi anak-anak yang lebih besar, berbohong
merupakan hal yang buruk, namun bagi remaja “berbohong sosial” atau berbohong
untuk menghindari kemungkinan menyakiti hati orang lain kadang-kadang
dibenarkan.keraguan seperti ini juga jelas dalam sikap terhadap masalah
mencontek, pada waktu remaj duduk di sekolah menengah atas atau pendidikan
tinggi. Karena hal tersebut sudah agak umum, maka remaja menganggap bahwa
teman-teman akan memaafkan perilaku tersebut dan membenarkan perbuatan
mencontek bila selalu ditekan untuk mencapai nilai yang baik agar dapat
diterima di sekolah tinggi dan akan menunjang keberhasilan dalam kehidupan
sosial dan ekonomi di masa mendatang. Dengan meningkatnya minat pada lawan
jenis, remaja menemukan bahwa pola perilaku tertentu bagi remaja laki-laki
tidak hanya dibenarkan tetapi juga dihargai meskipun sangat tidak dibenarkan
bila dilakukan perempuan.
B.
APLIKASI DALAM PENDIDIKAN DI PAUD
Pendidikan
moral telah diterapkan
pada PAUD di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada
kurikulum yang mencakup lima
aspek perkembangan, moral di tempatkan bersamaan dengan pendidikan agama
“perkembangan nilai-nilai moral dan agama”. Guru di tuntut untuk mengembangkan
nilai moral dan agama kepada anak. Baik yang tercatat di rencana kegiatan
pembelajaran maupun yang tersirat pada saat pembelajaran. Program-program yang
telah dilakukan menggabungkan pendidikan nilai pada tingkat global, lokal dan
individu.
a.
Tingkat Global: Banyak
sekolah memilih untuk melembagakan pendekatan pembangunan karakter secara
global dan inklusif dengan masukan dari guru, pengurus, orang tua dan pada
tingkat yang lebih tinggi, bahkan anak. Di sini, pendidikan nilai ditemukan
diseluruh kurikulum, diimplementasikan diseluruh gedung sekolah, dan dikaitkan
dengan keluarga. Pada tingkat PAUD, anak diperkenalkan dan diajarkan
menjalankan aturan, membuat aturan bersama dan membuat konsekuensi atas
pelanggran secara bersama.
Pada PAUD semua golongan yang
telibat pada anak usia dini ikut berperan serta dalam mengajarkan
aturan-aturan. Seperti, guru dan orang tua harus menjadi panutan, idola
terhadap anak-anak, karena anak sifatnya manipulasi, meniru orang yang lebih dewasa,
meniru idolanya. Seharusnya orang tua dan gurupun harus menaati peraturan yang
ada.
b.
Tingkat lokal
(Pengajaran di Ruang Kelas): Pada tingkat yang lebih lokal, guru dapat memilih
untuk memanfaatkan keingintahuan alami siswa dapat mengajarkan nilai dan
pengambilan keputusan melalui diskusi “bagaimana jika....?”. guru harus
mengetahui kemampuan kognisi siswanya dikelas dan memaksimalkan kemampuan ini
melalui kegiatan pemecahan masalah. Guru harus bersedia menciptakan konflik
kognisi di ruang kelasnya dan merangsang pemakaian sudut pandang sosial pada
diri siswa.
Pada pembelajaran anak usia
dini, anak dipusatkan untuk belajarkan tentang kehidupan sehari-hari dan
bersosial. Contohnya, anak diajarkan untuk tertib mengantri, dapat berbagi,
berdoa sebelum dan setelah melakukan kegiatan, menyanyangi makhluk hidup,
bertanggung jawab, berbagi dll.
c.
Tingkat individu (manajemen
konflik): keluarga menginginkan sekolah memberi siswa sarana yang perlu untuk
menangani konflik serius tanpa kekerasan, dan guru dan pengurus mengevaluasi
atau memprakarsai program penyelesaian konflik di banyak sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Berns, R.M. (2007). Child, family, school, community : Socialization and Support. Belmont:
Thompson Learning, Inc.
Borba, M. (2001). Building Moral
Intelligence. San Fransisco : Josey-Bass.
Coles,
R. (1999). The Moral Intelligence of
Children. Madison
: Random
House.
Hurlock, E.B. (2002). Psikologi perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan oleh Isitiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Kohlberg, Lawrence. (1993). Tahap-Tahap Perkembangan Moral . Yogyakarta: Kanisius.
Monks, F.J.,
Knoers,
A.M.P.,
& Haditono, S.R.
(1996). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Oladipo, S.E. (2009). Moral education of the child : whose resposibility?. Journal of Social Science, 20 (2), 149-156.
Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldmen, R.D. (2003). Human Development (9th ed). New York : McGraw-Hill.
Santrock, J.W. (1999). Child Development. Boston
: Mc Graw-Hill International Edition.
Rahman, Maman. (2001). Reposisi, Re-Evaluasi dan Redefinisi Pendidikan Nilai. Jakarta:
Jurnal Depdiknas.
Zakaria, Teuku Ramli. (2001). Pendekatan Pendidikan Nilai . Jakarta : Jurnal Depdiknas
Komentar
Posting Komentar