A. Konsep Kreativitas Seni Drama Untuk Anak Usia Dini
1.
Jenis Seni Drama Anak Usia Dini
Ada
berbagai macam kegiatan drama yang sesuai digunakan untuk anak-anak. Perkembangan
tingkat dan latar belakang pengalaman mereka, seperti yang akan mereka gunakan
dan butuhkan, harus dipertimbangkan ketika menentukan apa pengalaman drama yang
sesuai untuk anak. Adapun berikut ini adalah beberapa jenis drama yang dapat
digunakan untuk anak usia dini yaitu :
a. Dramatic Play
and Sosiodrama Play
Anak bereksperimen dengan situasi,
memainkannya seperti ini dan seperti itu. Jika seorang teman bergabung, ada
sudut pandang lain diperhatikan. Jika pemain pertama bermain terlalu jauh dari
perannya, mungkin kalah dari seorang pemain dengan ide lebih pasti bagaimana
seorang ibu seharusnya bersikap. Atau ia sendiri beralih ke peran berbeda dan
mencoba sekumpulan tokoh lain. Ia belajar mengenang potongan pengalaman masa
lalu dan menggabungkannya dalam cara yang baru, menambahkan dialog asli, nuansa
baru ke penokohannya, dan arahan baru bagi alur ceritanya. Belum pernah ada
dramawan yang berlatih baik. Selain menjadi dramawan kreatif, ia juga menjadi
aktor, sutradara, penonton aktor lain, dan pengumpan bagi anak lain, terlepas
dari apakah dia memainkan perannya atau melampauinya sehingga ada komentar
“bisik-bisik” saat permainan spontan berlangsung. Seperti tiap aspek dan
perkembangannya, ia mengembangkan kreativitasnya sendiri saat diberi kebebasan
dan waktu untuk berpartisipasi dalam permainan imajinatif.
Permainan imajinatif seperti ini di program
anak usia dini disebut permainan drama atau permainan sosiodrama oleh psikolog.
Dijelaskan oleh Edward sebagai :
Permainan
yang melibatkan bermain peran social dengan orang lain dan merujuk pada
permainan pura-pura anak saat dua atau lebih anak mengemban peran berkaitan dan
saling berinteraksi. Ia melanjutkan bahwa permainan sosiodrama dan kreativitas
memiliki kesamaan karena kedua proses bergantung pada kemampuan anak
menggunakan symbol dan harus dihargai sebagai proses yang kaya dan kompleks yang memfasilitasi
perkembangan potensi kreatif anak.[1]
MC Caslin juga mendeskripsikan bermain
dramatis sebagai berikut:
McCaslin describes dramatic play as “the free
play of the very young child in which he
explores his universe, imitating the actions and character traits of those around him.” Dramatic play is
spontaneous and can be expanded or repeated over and over again just for the
fun of it.[2]
Berdasarkan pendapat di atas menurut McCaslin
memaknai bermain dramatis
sebagai permainan bebas anak-anak
di mana ia mengeksplorasi dunianya, meniru tindakan
dan karakter dari orang-orang di sekelilingnya. Bermain drama spontan dan dapat diperluas atau
diulang lagi dan lagi hanya untuk bersenang-senang. Permainan sosiodrama, tingkat
tertinggi dalam bermain simbolik, berdasarkan dengan pengalaman mereka sendiri.
Mereka meniru tindakan dan pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa dalam
permainan mereka. Mereka mengulang, memecahkan masalah, dan menghidupkan
kembali pengalaman-pengalaman tersebut. Gordon dan Browne memberikan penjelasan
tambahan tentang permainan sosiodrama sebagai berikut:
“Sociodramatic play happens when at least two
children cooperate in dramatic play. Dramatic play provides the means for
children to work out their difficulties by themselves. By doing so, they become
free to pursue other tasks and more formal learning. This type of play involves
two basic elements: imitation and make believe.”[3]
Selanjutnya
Jackman menjelaskan juga tentang bermain dramatis dan permainan sosiodrama
yaitu sebagai berikut:
Dramatic play a type of creative,
sponstaneous play in which children use their
imagination to Create and dramatize pretend character, action, or events. Sosiodramatic
play the highest level of simbolic play in which young children create their
own happenings based on their experiences.[4]
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa permainan sosiodrama terjadi ketika
setidaknya dua anak bekerja sama dalam bermain dramatis. Bermain dramatis
menyediakan sarana untuk anak pada kesulitan mereka sendiri saat melakukan
percobaan. Dengan demikian, mereka menjadi bebas untuk melakukan apa yang ingin
mereka lakukan untuk memecahkan kesulitan mereka tersebut. Jenis bermain
melibatkan dua elemen dasar yaitu: Imitasi dan percaya diri. Bermain dramatis
jenis kreatif, bermain spoontan di mana anak-anak menggunakan imajinasi mereka
untuk membuat dan mendramatisir karakter berpura-pura, tindakan, atau
peristiwa. Bermain Sosiodrama dalam tingkat tertinggi bermain simbolik di mana
anak-anak membuat kejadian mereka sendiri berdasarkan pengalaman mereka.
Sedangkan Papalia dan Feldman menjelaskan bermain peran adalah bermain melibatkan
individu dan situasi yang ada hanya dalam khayalan saja, disebut juga bermain
fantasi, bermain dramatis atau bermain imajinatif.[5]
b. Pantomim
(Pantomime)
Isabell T. Rebecca dan Shirley C. Raines, menjelaskan
pengertian pantomim yaitu sebagai berikut:
Pantomime is the use of movement and gestures
to express ideas or feelings.
Communication of obtained throught action, not words (Salisbury, 1986).
Pantomime can be and effective beginning drama experience for young children
because it does not require language or dialog. Therefor,pantomime can provide
both a safe and successful initials experiences
with drama. It is easier for young children to begin pantomiming familiar
activities such as walking in snow and
sand. More advanced pantomimes ask the
child to express a mood or feeling. For example, a child could walk as though he had just found out that his
best friend could not come home with him.[6]
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa pantomim adalah penggunaan gerakan dan
isyarat untuk mengungkapkan ide-ide atau perasaan. Komunikasi aksi pikir yang
diperoleh, bukan kata-kata. Pantomim bisa dan mulai pengalaman drama yang
efektif untuk anak-anak karena tidak memerlukan bahasa atau dialog. Untuk itu,
pantomim dapat berupa nama dan inisial pengalaman dengan drama. Hal ini lebih
mudah bagi anak-anak untuk mulai berpantomim misalnya kegiatan akrab seperti
berjalan di salju dan pasir. Lebih pantomim canggih meminta anak untuk
mengekspresikan suasana hati atau perasaan. Misalnya, seorang anak bisa
berjalan seolah-olah dia baru saja menemukan bahwa sahabatnya tidak bisa pulang
bersamanya.
c. Cerita
Dramatisasi (Story dramatization)
Isabell
T. Rebecca dan Shirley C. Raines, menjelaskan pengertian cerita dramatisasi
yaitu sebagai berikut:
Story dramatization involves creating an
improvised play basedon a story or piece
of literature. A leader guides the development
and possibilities that can occur during the creative process.The
children act out the play using improvised dialog and action.[7]
Berdasarkan pendapat
di atas dapat disimpulkan dan dijelaskan bahwa cerita
dramatisasi melibatkan menciptakan bermain
improvisasi berdasarkan
cerita atau karya sastra. Seorang pemimpin memandu perkembangan dan kemungkinan
yang dapat terjadi selama proses kreatif. Anak-anak bertindak sebagai pemain
dan menggunakan improvisasi
dialog dan tindakan.
d. Mendongeng
dengan wayang boneka (Puppetry)
Isabell T. Rebecca dan
Shirley C. Raines, menjelaskan pengertian mendongeng dengan wayang boneka yaitu
sebagai berikut:
Storytelling
and puppetry are ancient forms of oral expression that developed historically in similar ways. The oral
story was passed down from generation
to generation. These stories were a
binding link for families and cultures. The puppeteer often augmented the storytelling by providing
visualization and surprise
elements to the story presentation.[8]
Berdasarkan
pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa mendongeng dengan boneka adalah bentuk kuno ekspresi
lisan yang berkembang secara
historis. Cerita lisan diturunkan dari generasi ke generasi. Cerita-cerita ini adalah penghubung yang mengikat bagi keluarga dan budaya. Dalang sering menambah
cerita dengan menyediakan unsur-unsur visualisasi dan menunjukkan kejutan cerita.
e. Dongeng
(Storytelling)
Isabell T. Rebecca dan Shirley C. Raines,
menjelaskan pengertian dongeng yaitu sebagai berikut:
Stories told
orally, without the use of written text, provide children with opportunities to
visualize characters and events. The storyteller uses words gestures and sometimes props to convide the meaning of the
story.[9]
Berdasarkan pendapat di atas dapat di jelaskan dongeng
adalah cerita secara lisan, tanpa menggunakan teks tertulis, memberikan anak-anak kesempatan untuk memvisualisasikan karakter dan peristiwa. Pendongeng menggunakan kata-kata gerak tubuh dan kadang-kadang alat peraga untuk convide makna
cerita. Sedangkan
Sara Smilansky membagi bermain dalam empat jenis
permainan sosiodrama:[10]
1) Functional play (infancy through early years)
occurs when a child takes on a role and pretends to be someone else. This type
of play embodies sensory and motor exploration of the environment and the
people in the environment. This is observable when children play in “dress –up
chothes” or use props to indentify the person they are portraying.
2) Constructive play (toddlers and preschoolers)
help children understand their experiences. This type of play can occur alone
or with others as the child plans the manipulation of objects or people to
create a specific experience. This is observable when a child puts keys in a
prented car, starts the motor, adds the sound effects (“Vroooom”), and lets
others ride in the car with her..
3) Dramatic play (Toddler through primary age
children) involves pretending and make believe. This represents a higher level
of play behavior and is observable when two or more children take on related
roles and interact with one another. “Rules that children follow in make
believe play teach them to make choices, to think and plan about what they will
do, to show willingness toward self restraint, as children learn to follow the
social rules of prented play. This is important preparation for real-life
situations.
4) Games with rules (older preschoolers and
primary-age children) require children to behave according to preexisting
rules. This is observable when children play board games and many outdoor
sports.
Berdasarkan
pengertian
di atas dapat dijelaskan yaitu sebagai berikut:
1) Bermain
Fungsional (bayi sampai tahun-tahun awal) terjadi ketika seorang anak mengambil
peran dan berpura-pura menjadi orang lain. Jenis permainan mewujudkan
eksplorasi sensorik dan motorik dari lingkungan dan orang-orang di sekitar. Hal
ini diamati ketika anak-anak bermain misalnya "memakai pakaian" atau
penggunaan alat peraga untuk mengidentifikasi orang yang mereka gambarkan
2) Bermain
konstruktif (balita dan anak prasekolah) membantu anak-anak memahami pengalaman
mereka. Jenis bermain dapat terjadi sendiri atau bersama orang lain sebagai
anak berencana manipulasi benda atau orang untuk menciptakan pengalaman
tertentu. Hal ini diamati ketika seorang anak menempatkan kunci di dalam mobil
berpura-pura, mulai motor, menambahkan efek suara ("Vroooom"), dan
memungkinkan orang lain naik di mobil dengan dia.
3) Bermain
Drama yaitu berpura-pura dan membuat percaya. Ini merupakan tingkat yang lebih
tinggi dari perilaku bermain dan diamati ketika dua atau lebih anak mengambil
peran terkait dan berinteraksi satu sama lain. "Aturan bahwa anak-anak
mengikuti membuat percaya bermain mengajari mereka untuk membuat pilihan, untuk
berpikir dan rencana tentang apa yang akan mereka lakukan, untuk menunjukkan
kesediaan terhadap diri menahan diri, sebagai anak-anak belajar untuk mengikuti
aturan-aturan sosial bermain prented. Ini adalah persiapan penting untuk
situasi kehidupan nyata".
4) Game
dengan aturan (anak-anak prasekolah yang lebih tua dan anak-anak SD usia)
membutuhkan anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan aturan yang sudah ada
sebelumnya. Hal ini diamati ketika anak-anak bermain papan permainan dan banyak
olahraga outdoor.
B. Pembelajaran
Seni Drama Untuk Anak Usia Dini
Berikut ini adalah contoh table analisis konsep untuk
pembelajaran seni drama anak usia dini dengan tema binatang dan sub tema
binatang peliharaan.
Tabel 2. Analisis Konsep Binatang Subtema Binatang
Peliharaan
Kegiatan Bermain
|
Aspek
|
Indikator
|
Pembuka
Berdo’a
sebelum melakukan kegiatan
|
NAM
|
Anak
mampu berdo’a sebelum melakukan kegiatan
|
Inti
Kegiatan bermain peran/drama. Dalam proses
kegiatan bermain peran ini mengajarkan kecintaan anak akan mahluk hidup.
Adapun kegiatannya sebagai berikut:
1.
Kegiatan yang mengenalkan anak pada mahluk
hidup yang ada di sekitarnya. Adapun langkah - langkahnya sebagai berikut:
a.
Guru mengajak
anak untuk menyebutkan apa saja mahluk hidup yang ada di lingkungan
sekitarnya
b.
Guru mengajak
anak untuk menyebutkan nama-nama binatang yang ada di gambar
c.
Guru dan anak melakukan diskusi untuk
membedakan bentuk binatang dan menirukan suara-suara binatang tersebut
(contoh: suara kodok, suara kambing, suara ayam)
2.
Kegiatan yang mengenalkan anak pada konsep bermain peran mikro. Adapun
langkah-langkahnya sebagai berikut:
a.
Guru mengajak anak untuk berkelompok
b.
Guru mengajak anak untuk memainkan peran
binatang yang ada di gambar
|
Kognitif
Bahasa
Kognitif
Bahasa
Bahasa
Sosio-emosional
Sosio-emosional
Psikomotorik
Bahasa
|
Anak
mampu melakukan kerjasama dengan temannya saat melakukan kegiatan
Anak
mampu bekerjasama dengan temannya
Anak
mampu menaati peraturan yang berlaku
Anak
mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk binatang dan menirukan suara-suara binatang
Anak
mampu melakukan kerjasama dengan temannya saat melakukan kegiatan
Anak
mampu bekerjasama dan menaati peraturan yang berlaku
|
Penutup
a.
Guru dan anak melakukan diskusi mengenai kegiatan
bermain peran yang dilakukan
b.
Guru menanyakan perasaan anak-anak setelah
bermain peran
c.
Guru menjelaskan betapa indah ciptaan Tuhan
yang beraneka ragam bentuknya dan pentingnya mencintai sesama mahluk hidup
|
Bahasa
Sosio-emosional
|
Anak
mampu menceritakan peran yang sudah dilakoninya dalam kegiatan
Anak
mampu mengekspresikan perasaannya.
Anak
mampu memahami konsep utama dari kegiatan bermain peran adalah mencintai
mahluk hidup, binatang
|
[1] Janice J. Beaty. Observasi perkembangan anak usia Dini.
(Jakarta: Kencana, 2013) h.421
[2] Hilda L. Jackman. Early Education Curiculum a Child’s
Connetion To The World, Fifth edition. (USA: Wadsworth, 2012). h. 331
[3] Ibid., h. 331
[4] Ibid., h. 331.
[5] Diane E. Papalia dan Ruth
duskin Feldman. Menyelami Perkembangan
Manusia. (Jakarta: Salemba Humanika,
2014). h. 245
[6] Isabell T. Rebecca and
Shirley C. Raines. Creativity And The
Arts With Young Children 2 Editions. (Canada: Cangage Learning, 2007). h.
251
[7] Ibid., h. 255
[8] Ibid., h. 256
[9] Ibid., h. 257
[10] Hilda L. Jackman. Op. cit., h. 332
Komentar
Posting Komentar